Movie review score
5

Seorang anarkis, aktivis, dan jurnalis yang pergi ke Meksiko untuk mendokumentasikan pemberontakan petani – tapi di sana, ia mendokumentasikan kematian nya sendiri.

Bahkan sebelum peluru polisi Meksiko membunuhnya, para ‘pengagum’ Brad Will lebih memandangnya sebagai simbol ketimbang manusia. Inilah yang diingat teman-teman anarkis – jurnalis berusia 36 tahun itu: Brad yang tinggi dan kurus memakai hoodie hitam dan mengangkat kedua kepalannya ke udara ala Rocky di atas sebuah gedung kumuh di East Village yang hendak di gusur; Brad, sambil mengangkat sepeda di atas batu, melarikan diri dari polisi di atas atap taksi; Brad, dengan kostum bunga matahari, memprotes kebun-kebun gerilya New York di depan Balai Kota. 

Brad (ia jarang memakai nama belakangnya, merahasiakannya untuk berjaga-jaga kalau anda seorang polisi) biasanya mengikat rambut coklat panjang nya, tapi untuk perempuan yang tepat – dan banyak perempuan tampak tepat bagi Brad – dia akan mengurainya hingga nyaris mencapai pantat. Jessica Lee, salah satu dari sedikit wanita yang menolaknya, berkenalan dengan Brad di sebuah aksi Earth First! di Virginia pada musim sebelum dia terbunuh. Mereka berpisah dari kerumunan dan menuju sebuah air terjun, di mana Brad melepas semua bajunya dan mengajak Lee, yang mengenakan pakaian renang, untuk berdiri bersamanya di balik lembar-lembar air yang jatuh. Brad berusaha menciumnya, tapi dia menolak. Lee berpikir Brad kehilangan sesuatu di dalam dirinya “Sepertinya dia tidak merasa utuh, terlalu kesepian,” katanya. Mungkin dia lelah setelah berada di garda depan sebuah revolusi yang tak pernah terwujud selama satu setengah dekade. 

Dia adalah salah satu dari 50 “anarkis terdepan” di Amerika, menurut Nightline yang menayangkan foto Brad di tahun 2004, sebagai imbauan atas kabar kedatangan kaum nihilis berpakaian hitam menuju New York untuk mengganggu Republican National Convention. “Anarkis Terdepan” – istilah bodoh seperti itulah yang membuat Brad tertawa. Brad bukan seorang “pemimpin,” sebuah kata yang di bencinya; dia adalah seorang katalis; pemanjat yang mengajar anak-anak kota untuk membela pelestarian hutan disebelah barat pegunungan Rockies, orang pintar yang di harapkan dukungannya saat kita memberi laporan publik mengenai kancah anarkis di Yunani, Seoul atau Cincinnati, walau dia juga adalah orang yang ketawa-ketiwi ketika mengisi ruangan dengan kentut yang sangat bau. 

Di tahun 1990-an, dia mengatur kelompok anarko-punk dalam memanfaatkan media dan memaksa Rudy Giuliani, walikota New York, untuk membatalkan rencana menjual kebun-kebun komunitas kota itu. Di dekade berikutnya, dia menjadi bintang sistem Anti-Bintang di Indystar, sebuah jaringan pers yang memungkinkan aktivis yang berkomunikasi dan berorganisasi langsung ketimbang menunggu perjuangan mereka terdistorsi di Nightline. 

Brad tampak ada di mana-mana: seorang teman mengingatnya berada di Ekuador, memungut sepeda dari barikade yang terbakar; teman lainnya mengingatnya berada di Quebec City, bersepeda menuju kepulan gas air mata dan terkekeh atas pemberontakannya, sementara seorang teman menyiram mata nya dengan air. 

Kini, Brad paling dikenal akibat menit-menit terakhir dari hari terakhir nyawanya, pada 26 Oktober 2006, di ibu kota Oaxaca, sebuah negara bagian di Meksiko Selatan. Dia datang kesana untuk mendokumentasikan sebuah mogok massal yang meledak menjadi pemberontakan melawan pemerintahan. Kamera videonya mengintip melalui kaca pecah untuk mengamati komputer yang rusak; menyorot asap hitam yang berasal dari mobil SUV terbakar; merangkak di bawah truk untuk memata-matai sekelompok orang, walau sebagian besar orang yang menonton video Brad di You Tube tidak tahu kelompok apakah itu. Mungkin mereka adalah polisi, tapi tak ada yang memakai seragam. Brad menyelinap menuju mereka bersama gerombolan kecil sambil membawa batu dan mercon, melawan pria-pria yang bersenjatakan 38 dan AR-15. 

Dua menit sebelum penghabisan, Brad menuju pintu yang ia tahu kemungkinan memuat pria-pria bersenjata yang bersembunyi. Ketika Brad baru tiba di Oaxaca, pendukung pemerintah berseru di radio, “Si ves a un gringo con camara, matalo!” (Kalau kamu melihat orang asing yang membawa kamera, bunuh dia!) Itulah kata-kata terakhir yang terdengar di video Brad sebelum dia merekam kepulan asap-letupan senjata di balik matahari yang redup – dan lututnya sendiri bergerak menuju lensa, sementara dia tumbang, menuju trotoar: “No esten tomando fotos!” (Berhenti mengambil gambar!). Brad tidak mendengarnya. 

Dia berencana kembali ke Brooklyn esok harinya. Selama tiga minggu yang di habiskannya sebelum tewas, Brad menertawakan kemampuan bahasa Spanyol-nya yang memburuk dengan memperkenalkan diri sebagai “Quebrado”(rusak). Tapi dia tidak tampak rusak. Dengan tinggi badan 188 cm dan tubuh lebar seperti ayahnya – anggota tim futbol Yale yang tak terkalahkan di tahun 1960 – dia ramping tapi kekar, “agak bau dan sangat ganteng,” menurut Kate Crane, sahabatnya. Di usia 20-an, ketika dia membawa ketapel – bukan kamera – ke demonstrasi, dia menganggap dirinya sebagai campuran antara pejuang dan penyair. Mantan murid Allen Ginsberg ini menyebutnya “eskalasi manis” dimana protes bukan saja jalan menuju tujuan, tapi juga sebuah cuplikan seputar dunia yang belum tercipta. 

Ketika tiba di Oaxaca, di musim gugur 2006, dia menyebut dirinya jurnalis. “Kamera adalah senjatanya,” kata Miguel, pembuat film asal Brazil yang telah membuat Brad: One More Night At Barricades untk mengenangnya. “Jika saya mati lebih dulu,” kata Brad kepada seorang teman setelah melawan polisi saat protes di Praha, “Katakan ini kepada mereka: saya tidak pernah menyerah. Itu kutipan, ya?” pada akhirnya, hanya ada sebuah gambar, rekamannya yang terakhir, kepulan asap dari peluru yang menerjangnya. 

“Yo d,” tulisnya kepada Dyan Neary, seorang mantan pacar, tiga hari sebelum kematiannya, “sedang melompat kesana kemari seperti wartawan disini – cukup menegangkan dan kadang-kadang mencurigakan.” Gubernur Oaxaca mengirim pasukan paramiliter dalam truk-truk bak terbuka yang menembaki barikade-barikade. Mayat-mayat bertumpukan. Brad mulai ketakutan. “Saya kembali ke kamar mayat – itu tempat yang sakit dan menyedihkan – saya punya firasat akan kembali kesana bersama gerombolan wartawan yang bersikut-sikutan untuk mendapat gambar yang bagus – mayat yang di jahit dan telanjang – itu ada di surat kabar setiap hari – saya sedang memasuki teritori yang baru dan belum tahu apakah saya sudah siap?” 

Siap untuk apa? Revolusi? Darah? Brad sudah pernah melihat kedua hal itu, di Venezuela, Argentina, Brazil. Oaxaca lebih besar, menegangkan dan menakutkan. Yang tadinya berawal sebagai mogok oleh 70.000 guru meledak setelah gubernur menyerang guru-guru itu dengan gas air mata dan helikopter. Di Oaxaca, setiap organisasi berhaluan kekirian – grup pribumi, serikat, mahasiswa, petani, anarcho-punk – menyatu dalam sebuah koalisi yang belum pernah ada sebelumnya dan mengambil alih kota. Pemerintah nasional menyatakan seluruh negara bagian Oaxaca “tidak dapat diatur.” 

Brad tahu apa tugasnya: Rekam itu semua! Dia mengirim kaset-kasetnya ke rumah, memutarnya di rumah-rumah ilegal dan toko buku anarkis. Dia berkata revolusi itu nyata, inilah buktinya. Ban terbakar, pemberontak bertopeng yang memasukkan kain ke dalam botol penuh bensin, petani yang membawa parang; dapur gratis, klinik berobat gratis, bus gratis yang di ambil alih oleh petani dan nelayan. Di sebuah pemakaman jalanan, wanita-wanita tua menyanyikan sebuah lagu radikal dengan tinju mengarah ke udara; di sebuah tenda merah di malam hari, seorang ayah menghantam kotak perak yang memuat jenazah putranya. Yang berduka berteriak, “La muerte al gobierno malo!” (pemerintah harus mati!) dan “Viva Alejandro!”. Alejandro Garcia Hernandez, 41 tahun, ditembak dua kali di kepalanya oleh segerombolan tentara yang berusaha mendobrak barikade yang dibuka agar ambulans dapat lewat. Brad berkabar ke tanah airnya, “dan kini Alejandro menunggu di Zocalo”  - plasa kota  - ”dia sedang menunggu persimpangan, perubahan, jalan keluar, jalan ke depan, sebuah solusi – menunggu bumi bergeser dan membuka – menunggu November, dimana dia bisa duduk bersama orang-orang tercintanya pada hari kematian dan berbagi makanan dan nyanyian…satu lagi martir dalam perang yang kotor…satu lagi peluru yang memecahkan malam.” 

Kenilworth, Illionis bukanlah tipe kota yang melahirkan orang-orang radikal. Kota kecil yang berdekatan dengan pantai di sebelah utara Chicago ini adalah tipe tempat di mana rumah-rumah di kawasan “kumuh” hanya senilai beberapa juta dollar. Dalam sensus terakhir ada empat warga Afrika-Amerika, dan jika ada pendukung partai Demokrat di sekitar rumah Brad sewaktu kecil, mereka diam-diam saja, menurut Stephanie Rogers, seorang teman keluarga. “jika Kenilworth bukan contoh dari kota kelas teratas,” katanya, “itu hanya karena kami berada di kawasan Midwest. Anak-anak mempelajari model East Coast, kota-kota seperti Greenwich, Connecticut. Kenilworth ingin seperti itu.” 

Lain halnya dengan keluarga Will. Mereka tidak mengikuti siapa-siapa. “Keluarga Will adalah peraih prestasi, pemimpin” kata Rogers. Bagi ketiga kakak Brad, itu berarti nilai yang bagus, olah raga dan organisasi pelajar. Brad berbeda, “Kami semua adalah anak yang aktif, penasaran, atletis, dan kami sering bergurau secara fisik,” kata Christy, kakak Brad yang bekerja sebagai desainer grafis di San Diego. “Brad kurang tertarik pada hal-hal itu.” Dia lebih menyukai fiksi ilmiah dan fantasi, seperti The Chronicles Of Narnia dan The Lord Of The Rings, dan Star Wars, salah satu dari sedikit persamaan kesukaan dengan ayahnya: Hardy, seorang insinyur yang memiliki pabrik kecil, senang membayangkan cara kerja dunia-dunia kecil. Brad senang membangun dunia-dunia kecil dengan mainannya dan mengarang kisahnya. Dia tidak tertarik pada monster-monsternya , melainkan pertempuran antara kebaikan dan kejahatan. 

Salah satu film kesukaannya adalah It’s a Wonderful Life; Jimmy Stewart yang jangkung dan bersahaja menjadi panutan bagi jalan hidup Brad di dunia seiring pertumbuhannya. Dia berteman dengan semua kalangan di Kenilworth, termasuk para pecandu ganja. 

Tapi dia perlahan-lahan mulai menyimpang dari siklus SMA – Kuliah – Kembali ke pinggir kota yang menjadi aturan yang normal di Kenilworth. “Membuka wawasan saya adalah perjuangan,” tutur Brad kepada sebuah surat kabar Venezuela, beberapa tahun kemudian. “Saya tidak tahu banyak tentang kenyataan di dunia, tapi perlahan-lahan saya memaksakan mata saya terbuka, tanpa bantuan siapapun.”

Anak-anak Will diharapkan menjadi atlet (Brad adalah pelari) dan menekuni instrumen musik. Tapi pada suatu hari, Brad mengumumkan bahwa dia akan berhenti bermain terompet demi bermain gitar. Bukannya bergabung dengan klab, dia malah bekerja sepulang sekolah, sebagai tukang kirim bunga, pengatur rak perpustakaan, atau penjual langganan surat kabar. “Brad itu membingungkan,” kata ibunya, Kathy. “Tapi dia bukan anak pemalas.”

Satu-satunya kewajiban yang tak dapat ditawar oleh anak-anak Will adalah kuliah. Wendy masuk Standford, Craig menyusul ayah mereka ke Yale, Dan Christy masuk Scripps College. Nilai-nilai Brad berkisar antara B dan C. Tapi setelah lulus ujian masuknya dengan baik, dia masuk ke Alleghany, sebuah sekolah kecil di Pennsylvania barat. Di sana ia ikut kelompok persaudaraan kampus, menggemari Grateful Dead dan mempelajari ‘On The Road’. Dia lebih banyak teler dan berbagi pipa ganja dengan Matt Felix, seorang pecinta lingkungan dari New Hampshire yang memperkenalkan Brad dengan Earth First!, sebuah bentuk kegiatan aktivis lingkungan yang ekstrim. Etos aksi langsung dan tindakan teatrikal itu membawa Brad ke daerah barat ketika dia lulus tahun 1992. Dia mengikuti jejak Hippie ke Boulder, Colorado, dimana ia mengambil kelas yang diajarkan Allen Ginsberg di Jack Kerouac School of Disembodied Politics, Naropa Institute.

Yang lebih berpengaruh lagi dibandingkan Allen Ginsberg adalah Peter Lamborn Wilson, yang dikenal lewat manifesto The Temporary Autonomous Zone, ditulis dengan nama samaran Hakim Bey. TAZ adalah sebuah pengkajian “anarki ontologis” dan “terorisme puitis” serta pedoman bagi kehidupan yang mulai dijalani Brad. “Yang terjadi adalah” tulis Wilson, “mereka membohongimu, menjual gagasan kebaikan & kejahatan, membuatmu tak mempercayai tubuhmu & malu atas pesan kekacauanmu, menciptakan kata-kata menjijikkan untuk cinta molekularmu, membuatmu terpukau dengan tidak diperhatikan, membuatmu bosan dengan peradaban dan semua emosinya yang berlebihan.” Pendapat Wilson tentang Brad, mahasiswa yang banyak bicara di kelas karena tidak membayar iuran pendidikan, adalah, “sangat enerjik,  sangat cerdas, kurang terkendali, sembrono, nekat, mungkin itu bisa di bilang keberanian. Kadang-kadang gila, menawan semua orang.”

“Brad senang berada di pusat-pusat ide,” kata ibunya, yang bahagia bahwa setidaknya putranya memiliki pekerjaan. Dia tidak tahu bahwa putranya  sudah tidak bisa membayar sewa. “Para penyair sekaligus teman sekamar saya yang gila itu melarikan diri,” tulisnya tentang perkenalannya secara tak sengaja ke dunia penghuni gelap. “Saya tetap tinggal dan bahkan tak punya nomor telepon pengurus gedung.” Itu cocok bagi Brad, dia mulai merasa bahwa uang adalah semacam konspirasi, sebuah bentuk pengendalian yang ditinggalkannya. Dia ingin menulis puisi: sebuah perwujudan yang berantakan, bahagia, marah dan melantur dari manifesto Wilson.

Upayanya yang pertama terjadi pada suatu musim panas, dimaa 50.000 anggota Promise Keepers, sebuah gerakan pria Kristen fundamentalis, mendatangi Boulder dan membagi-bagikan selebaran berjudul “The Iron Spear: Reaching Out to The Homosexual.” Brad tidak gay, tapi dia memutuskan untuk bertindak. Halaman Naropa Institute bersebelahan dengan lokasi perkumpulan Promise Keepers, jadi Brad mengadakan pertunjukan: dia menikahi seorang pria. Doa mengajak Wilson untuk meresmikan upacaranya dan Anne Waldman, seorang penyair, untuk menjadi ibunya. Seorang mahasiswa lain menjadi mempelai dengan gaun putih, dan Brad menemukan jas dan dasi. “Saya memang seorang pendeta di gereja Universal Life,” kata Wilson. Saya menikahkan mereka di depan Promise Keepers. Lalu Brad mencium mempelainya, sebuah ciuman panjang yang mendorong seorang anggota Promise Keepers untuk memanjat pagar dan memastikan apakah dia benar-benar melihat sepasang pria yang sedang berciuman. Brad menyatakan aksi itu sebagai sebuah kesuksesan ketika orang fundamentalis itu tetap tinggal. Mungkin dia berhasil diyakinkan bahwa para penyair mengadakan pesta-pesta yang lebih seru dibandingkan Promise Keepers.

Itulah perpaduan politik dan puisi yang terbayang oleh Brad ketika itu adalah puisi dan performa. Tapi Brad tidak menyukai panggung. Dia ingin pertunjukan itu berlangsung tanpa henti. Dari Boulder, dia pindah ke West Lima, Wisconsin, sebuah kota terlantar yang telah menjadi sebuah “komunitas yang disengaja” bernama Dreamtime Village. Dreamtime seperti versi surealis dari kota dimana Brad dibesarkan: ada kantor pos, gedung sekolah, rumah-rumah kecil dan nyaris tak ada aturan. Lalu pada musim panas 1995, Brad tertarik pada kisah-kisah yang di dengarnya oleh sejumlah penghuni gelap asal New York yang sedang berlibur. Ketika mereka hendak pulang, Brad menumpang.

“I moved to the big shitty as Giuliani time kicked in” tulisnya dalam esai We Are Everywhere, sebuah antologi anarkis. Di New York, setidaknya, para anarkis terkumpul di sekitar selusinan rumah gelap, gedung-gedung yang di tinggalkan pada masa kebobrokan kota itu dimana tahun 80-an, dan dipugar oleh siapa saja yang ingin tinggal tanpa membayar sewa. Itu ilegal, tentunya, dan itu yang menjadi daya tarik bagi Brad. Tinggal di rumah ilegal saja sudah merupakan salah satu bentuk aksi, dengan melawan aturan-aturan properti. Brad menemukan kamar kosong untuk ditempati di East 5th Street, tempat tinggal sekitar 60 “aktivis dan penghancur”, kata Pastrami, seorang guru Yoga yang bersahabat dengan Brad. Mereka mengangkut air dari hidran dan mencuri listrik dari lampu jalan. Lalu mereka mengosongkan sampah dari sebuah kavling kosong dan mengubahnya menjadi kebun dengan pohon pir. Mereka berbagi dengan para tetangga dari Puerto Rico, dan mendapat simpati daripara suster dari rumah jompo Cabrini, setelah ketakutan pada awalnya, mereka akhirnya berdoa untuk para makhluk muda yang liar namun berhati mulia ini. Yang makan dari sampah dan tanah kota yang beracun. Inilah kehidupan yang dicari Brad.

Anarkisme bukanlah sebuah ideologi tunggal, namun lebih seperti sejumlah filosofi yang saling beririsan, dan Brad ingin mempelajari semuanya. Dia sering datang ke toko buku anarki Blackout Books di kawasan Alphabet City, New York, lalu menghilang selama berhari-hari untuk membaca buku-buku yang di beli, di pinjam, atau diambil dari tempat sampah. Dia membaca tulisan Marcos, pemimpin pemberontakan Zapatista di Meksiko yang menjadi model baru bagi gaya anarkis. Dia membaca tulisan Kroptokin, ahli biologi Rusia di awal abad ke-20 yang menyumbang gagasan dasar anarkisme, yaitu “bantuan sesama”, dimana kerja sama, bukan persaingan, adalah sifat dasar manusia. Dia bergabung dengan gerakan-gerakan seperti Ruckus Society, Earth First! dan Reclaim The Streets. Inilah jaringan-jaringan tanpa pemimpin yang menerapkan ide-ide anarkis dalam bentuk aksi dengan taktik konfrontasi. Inti aksi mereka bukan menuntut, tapi menimbulkan ‘kekacauan’. Bagi Brad, tindakan langsung, lokal, tak tersaring setidaknya lebih penting ketimbang ideologi. Setidaknya secara teoritis, dalam prakteknya, kelompok-kelompok anarkis cenderung terlalu ‘puritan’, menolak untuk berbicara dengan rekan-rekan yang telah dianggap berkompromi. Lain halnya dengan Brad. Dia akrab dengan golongan anarko-primitivis yang memandang bahasa sebagai bentuk opresi, dan anarkis sosial, yang menulis buku dan membangun sekolah. “Dia adalah orang yang paling tidak sektarian yang saya kenal” Kata Dyan Neary. Itu mempermudahnya dalam memperkenalkan ide-ide baru ke orang-orang. “He was just sort of user-friendly.”

Tapi ada juga sisi kerasnya. “Brad cukup banyak dimusuhi orang,” kata Sacha DuBrull, yang juga pindah dari Dreamtime ke Lower East side seperti Brad. “Dia lantang dan blak-blakan, dan tak selalu mendengar dengan baik”. Di rumah ilegal 5th Street, dia “membual” tentang kemampuannya membangun rumah, tapi menurut teman-temannya ia pernah salah memasang kabel listrik dan mengakibatkan munculnya api kecil. Api itu tidak membahayakan gedung, tapi sudah cukup alasan bagi Giuliani untuk menggusurnya. “Ketika mereka datang ke gedung kami,” tulis Brad, “tak ada surat penggusuran, dan mereka datang dengan derek penghancur. Saya menyelinap ke dalam, merasakan getaran ketika bola penghancur menembus tembok. Saya sendirian. Dari atap saya menyaksikan mereka membuang sebongkah rumah saya ke atas kebun saya… Ketika semuanya selesai: tumpukan puing.

“Rasanya dia seperti ingin mati di atas sana, dia merasa begitu bersalah,” kata seorang teman kepada The Village Voice. Lalu Brad berkeliling Amerika dengan kereta barang, dan berbicara kepada kelompok-kelompok aktivis tentang penumpasan yang dilakukan oleh Giuliani. “Brad sangat berapi-api,” kata DuBrull. “Dia penuh semangat, tangannya bergetaran.”

“Ada sisi kepolosan pada dirinya,” kata Stephan Said, penghuni gelap dan penyanyi folk yang di kagumi Brad. “Yang membuatnya tewas adalah sifat yang juga membuatnya memikat.”

Di tahun 1998, Brad hijrah ke barat untuk bergabung dengan para aktivis Earth First! Untuk “perlindungan hutan,” dimana Brad menghabiskan musim panasnya di sebuah pos yang di bangun di bagian atas sebuah batang pohon Douglas tua di Oregon, sebuah suaka anarkis, jauh dari hukum-hukum di bawah sana. “Saya menyebutnya bidang Y, karena kita jauh berada dia atas aturan-aturan bidang X,” kata Priya Reddy, yang menjadi salah satu teman dekat Brad di musim panas itu. “Aturan satu-satunya adalah gravitasi. Itulah tunawisma dalam makna terbaliknya.”

Reddy adalah gadis kota, di Oregon dia memilih nama julukan ‘Warcry’, seperti tanggapan terhadap nama-nama berbau hippie seperti Julia Butterfly. Dia tidak tahu cara memanjat, jadi pada awalnya dia memberi dukungan dari bawah, memenuhi pesanan suplai dari pohon ke pohon. Brad memiliki kebutuhan lain. “Saya menjatuhkan secarik kertas,” katanya di hari pertama Warcry. “Bisa minta tolong mencarinya?”

Warcry melihat ke arah ranting, sumber suara itu, 60 meter di atasnya, tidak tampak. Begitu juga dengan kertas nya yang jatuh ke semak yang lebat di lantai hutan. Ketika dia menemukan secarik kertas yang terlipat itu, dia mengintip. Sebuah rencana aksi? Bukan; sebuah puisi cinta.

Hutan menjadi berisik akibat musik dari para penunggu pohon. CD dan kaset Sonic Youth, Crass dan Conflict dimainkan sekencang-kencangnya. Tampaknya lagu yang paling populer adalah “White Rabbit”, setelah Warcry mendengarnya untuk keseratus kalinya, dia muak. “Mengapa kalian terus memutar White Rabbit?” tanyanya. Jawabannya adalah, “Kamu tidak tahu? Itu adalah peringatan.” White Rabbit berarti polisi, yang dipergoki oleh Brad atau penunggu pohon lainnya di atas, sedang menuju ke sana.

Warcry segera memberanikan diri untuk bergabung dengan Brad di pepohonan, dan menghabiskan tiga minggu di atas pohon itu di dekatnya. Dia membawa kamera video. Pada suatu hari, penebang menumbangkan pohon raksasa sekitar 15 meter dari pos Brad di video Warcry, tapi kita bisa mendengar teriakannya “Fuuuuuccckkkk!!” Pohon itu mendarat, dan Brad berteriak kepada penebang pohon di bawah. “Kira-kira berapa umur pohon itu? Berapa umur kalian?” Dia dapat menanyakan hal yang sama ke dirinya sendiri, ketika berada di rumah pohon itu, kadang-kadang ia merasa seperti anak kecil, yang tak berdaya melawan.

Yang membedakan Brad dari banyak aktivis radikal lainnya adalah dia tetap dekat dengan keluarganya, keluarga Will yang konservatif dan pendukung Partai Republican asal Kenilworth. Ketika dia dipenjara selama seminggu saat memprotes WTO di Seattle pada tahun 1999, salah satu hal yang paling di takutkannya adalah saat pembebasan agar ia masih bisa sempat menghadiri pesta ulang tahun ibunya yang ke-60, yang akan dirayakan keluarga Will di Hawaii. Saat dia tiba di sana, dia tidak menceritakan apa sebenarnya yang terjadi. “Dia tidak ingin membebani kami,” kata ibunya.

Begitulah cara Brad menerima latar belakang dirinya. Di tahun 2002 ketika dia dan Dyan Neary menumpang kereta barang dari wilayah Northwest ke New York, dia bersikeras untuk mengalihkan rute agar Neary (yang dijuluki Glass) mau mengalihkan perjalanan agar ia bisa menemui ibunya. Glass berusaha mengobrol tentang politik, dan bercerita kepada keluarga Will tentang petani koka di Amerika Selatan yang menjadi melarat akibat penyemprotan pembunuh tanaman yang di danai oleh A.S. Ibu Brad tampak bingung: “Tapi, sayang, menurut kamu bagaimana seharusnya kita mengatasi masalah kokain?” Beliau tidak sedang mengungkapkan pertanyaan.

Brad tertawa. “Kemudian saya berpikir, ‘Oh, shit, They don’t really know what you’re doing, do they?”. Dia bangga akan kemampuannya untuk berpindah-pindah di antara berbagai macam dunia.

Keduanya bertemu tak lama sesudah 9/11, dan kencan pertama mereka adalah jalan-jalan di sekitar Ground Zero selama enam jam. Brad berusia 31 tahun dan Glass 20 tahun, dengan tubuh yang tinggi, kurus namun penuh lekuk, serta senyum yang lebar seperti Brad. Tapi Glass tercengang oleh New York yang berubah, dari kota yang bersemangat menjadi berkabung lalu berperang. “What the fuck happened to my city?” pikirnya. Mereka memutuskan sudah waktunya untuk pindah kota.

Namun ada dua masalah. Yang pertama adalah monogami, Brad tidak menganutnya. Baiklah kata Glass, tidak ada seks. Dan Brad tiba-tiba menemukan kemampuan untuk menjadi setia. Masalah lainnya lebih rumit: Brad akan menjadi seorang ayah. Sang ibu adalah seorang perempuan Prancis yang sempat mejalin hubungan dengan Brad ketika sedang berkunjung ke New York. Sebulan kemudian, dia menelepon untuk memberi tahu perihal kehamilannya. Brad menyukai anak kecil, tapi dia bersumpah tak akan menghadirkan seorang keturunannya ke dunia yang dianggapnya terlalu rusak. Brad terbang ke sana untuk berkunjung.

“Tinggal saja di sini,” katanya. “Kita dapat membesarkan bayinya bersama-sama.” “Saya akan membantu dengan uang,” kata Brad - komitmen besar, karena untuk hidup saja, ia harus mengorek-ngorek tempat sampah demi makanan – “tapi saya tak mau pindah ke Prancis.”

Ketika perempuan itu melahirkan bayinya, pacar si perempuan yang baru mengadopsinya. Bagi Brad, itu adalah solusi yang ideal – dia mencintai keluarga yang sudah di milikinya, tapi dia tidak ingin memulai keluarga baru.

“Dia ingin mengalami revolusi,” kata Glass. “Dia ingin hidup seperti itu setiap hari.” Mereka menghabiskan dua tahun di Amerika Selatan, kembali ke New York untuk mengumpulkan dana dengan mengambil pekerjaan sementara dan mengadakan pesta-pesta amal. Di Brazil, mereka bekerja dengan Movimiento Sin Terra, orang-orang miskin tanpa tanah yang telah memenangkan hak atas lebih dari 8 juta hektar tanah pertanian. Di Buenos Aires, mereka bergabung dengan gerakan buruh yang mengambil alih pabrik-pabrik yang tutup akibat resesi perekonomian Argentina. Di Bolivia, mereka bertemu dengan Evo Morales, seorang petani koka radikal yang kemudian menjadi presiden pribumi pertama di negara itu. Brad menyadari bahwa ini bukan East Village atau sebuah pos di Oregon. Kekuasaan yang nyata sedang di pertaruhkan disini.

Kini, dia punya misi. Dia ingin menunjukkan kepada para aktivis Amerika tentang cara berjuang, dimanapun mereka dapat menemukannya atau memulainya. Dia memutuskan bahwa video adalah medium yang paling tepat. Di tahun 2004, dia mengumpulkan US$ 300 untuk membeli Canon ZR40 bekas dan kembali ke selatan, kali ini sendirian. Dia siap untuk membuat laporan, dan siap menjadi wartawan.

Pada tahun 2005 di Brazil Tengah, di sebuah kota pemukiman gelap bernama Sonho Real (Harapan Nyata) yang berisi 12.000 rakyat jelata tanpa tanah, Brad merekam serangan polisi yang menelan 2 korban jiwa dan 20 orang lainnya ‘hilang’. Brad adalah satu-satunya wartawan yang hadir. Dia bersembunyi di sebuah gubuk dan merekam, sambil menunggu kemungkinan terburuk. Polisi menemukannya, menyeretnya dengan cara menjambak rambutnya dan menghajarnya tanpa ampun. Mereka menghancurkan kamera dan menangkap Brad. “Kedutaan A.S menolak untuk bertindak,” kata Miguel, sahabat Brad. “Mereka berkata, ‘Ya, kami tahu peristiwa itu, tapi dia bukan orang yang penting bagi kami’” Namun paspor Amerika-nya masih mampu membuat kepolisian Brazil segan. Mereka membebaskannya. Dia berhasil menyembunyikan kaset rekamannya; tak lama kemudian, kejadian itu disiarkan di seluruh Brazil, sebuah contoh sempurna dari kinerja Indymedia.

Tapi bagi Brad hal itu tidak terasa sebagai sebuah kemenangan. “Saya merasa di hantui,” tulisnya kepada Kate Crane, sahabatnya. “Saya terus melihat tubuh wanita yang kurus di dasar sumur, dalam posisi yang aneh – saya tidak bisa melupakannya.”

Meksiko yang di datangi Brad pada awal Oktober 2006 tampak sebagai sebuah negara yang ada di ambang. Di ambang apa, sulit untuk dikatakan. Tetai sesuatu akan terjadi. Itu adalah tahun pemilihan umum. Dan PRD (Partai Revolusi Demokratis) – partai tengah-kiri yang merupakan sebuah kekuatan baru dalam kancah politik Meksiko – sudah terlihat pasti akan memenangkan kepresidenan. Vicente Fox, kembaran “Bush” yang menggulingkan PRI (Partai Revolusioner Institusional) yang telah lama berkuasa di tahun 2000, dilarang mencalonkan diri kembali berdasarkan konstitusi. Calon penggantinya adalah Felipe Calderon, seorang penindas yang terobsesi dengan minyak bumi dan apapun yang bersifat rahasia, seperti Dick Chaney-nya Meksiko. Pada 2 Juli, televisi Meksiko mengumumkan ketatnya persaingan anatara Calderon dan Andreas Manuel Lopez Obrador yang moderat. Esok paginya, badan pemilu Meksiko menyatakan Calderon sebagai pemenang. Yang menjadi masalah, semua suara tidak dimasukkan ke dalam perhitungan. Dua juta warga Meksiko turun ke jalan untuk protes. Satu-satunya harapan Calderon adalah membujuk PRI, musuh lama partainya yang berhaluan kanan, untuk membentuk koalisi untuk melawan PRD yang berhaluan kiri. Sebagian imbalan atas dukungan PRI, dia akan berjanji bahwa partainya akan mengamankan ladang uang PRI: Oaxaca.

Oaxaca adalah salah satu negara bagian termiskin di sebuah negara miskin. Di tahun 2004, PRI mengangkat Ulises Ruiz Ortiz, politikus yang naik daun dengan reputasi melakukan penipuan pemilu, sebagai Gubernur. Ruiz adalah sumber uang, yang sangat piawai dalam memeras negara bagian agar mendapat dana untuk organisasi partai nasional. Namun dia kurang piawai dalam meredam keresahan yang meluas di Meksiko sejak pasukan pemberontak Zapatista keluar dari hutan di tahun 1994.

“Jika mereka ingin membunuh guru-guru kita” kata para warga Oaxaca setelah kepolisian Ruiz membunuh beberapa guru yang mogok pada 24 Juni 2006, “maka seharusnya mereka membunuh kita semua sekarang.” Sejak hari itu, Oaxaca City menjadi saksi pemberontakan terbuka. Di jalan, para wanita bersahut, “Con Ulises pelotas, yo hare los huevos fritos!” (Dengan buah zakar Ulises, saya akan membuat telur goreng!) Ibaratnya seperti rakyat miskin Lousiana berkumpul di New Orleans, menggeser para politikus dan memerintah kota itu sendiri selama beberapa bulan, sementara tentara nasional tetap berkeliling dan membakari rumah-rumah.

Namun media Amerika mengabaikan Oaxaca. Itu menjadi kisah yang sempurna bagi Brad. Teman-temannya berusaha membujuknya untuk tidak pergi, dia diberitahu bahwa “APPO” – Majelis Popular Rakyat Oaxaca, bisa di bilang pemerintahan revolusioner – “tak mempercayai siapapun yang belum dikenal selama bertahun-tahun,” oleh Al Giordano, penerbit Narco News, sebuah laporan mengenai politik Amerika Latin. “Mereka terus mengimbau saya agar tidak mengirim pendatang baru, karena keadaannya sangat tegang.”
“Mungkin saya akan tetap pergi” kata Brad dalam suratnya. Ketika dia tiba di kantor Indymedia di Mexico City dalam perjalanan menuju Oaxaca, mereka berkata bahwa kulitnya yang putih akan menjadikan dirinya serta orang-orang di sekitarnya sebgai sasaran.

“Anda seperti ibu saya,” kata Brad. “Memangnya anda terbuat dari apa? Inilah inti dari semuanya, Pemberontakan.”

John Gibler, seorang wartawan cetak radikal yang sudah lebih lama berada di Meksiko, mengingat ketika Brad tiba di pusat Oaxaca City, seorang hipster tinggi asal Amerika dengan kamera mewah – Brad membelinya dengan tabungan – yang membuatnya tampak profesional. “Media menggambarkannya sebagai orang idealis nekat yang tidak tahu apa-apa, tapi dia tidak bodoh,” kata Gibler. “Di hari pertama saya berkata, hei Brad, mau ikut ke barikade malam ini?, dia berkata: saya tidak sabar untuk pergi kesana, tapi sudah banyak orang terbunuh, tapi saya harus mengenal tempat ini dulu. Tanpa itu, berjalan-jalan di malam hari bukan langkah yang cerdas.”

Dia menemukan tempat untuk tidur (lantai markas sebuah kelompok hak rakyat pribumi) dan sebuah tempat untuk menyimpan rekamannya – dari pengalamannya di Brazil, dia belajar bahwa seorang jurnalis Indymedia yang tidak dilindungi kantor berita yang besar membutuhkan tempat persembunyian. Dia makan bersama para demonstran yang dijuluki APPO, gerak jalan bersama mereka, dan tidur di samping mereka di atas tanah pada sore yang panas. Dia bercerita tentang politiknya sebelum menanyakan politik mereka. Dia banyak tertawa. Perlahan-lahan, para APPO mulai mempercayainya. Brad mampu memasuki “hal yang paling mendekati revolusi anarkis untuk generasi ini,” menurut Rolling Thunder, sebuah koran anarkis di A.S. Pihak yang berwenang di Meksiko rupanya setuju – mereka bersiap-siap menghukum Oaxaca.

Rekaman Brad pada 27 Oktober berawal dari sebuah jalan di pinggir kota yang di penuhi batu-batuan dan karung pasir, sementara asap hitam yang tebal mengepul di latar belakang. Beberapa menit sebelumnya ada pertempuran antara tentara paramiliter dengan senapan otomatis melawan demonstran dengan bom Molotov. Brad menyorot mobil van perak yang sedang terbakar. Lalu dia kembali menyorot kerumunan, pria-pria tua dengan topi jerami, remaja bertopeng ski, ibu-ibu gemuk dengan panci. Mereka mulai berteriak, “Rakyat, bersatu!” Peluru berdatangan dari jalan samping, dan pertempuran itu pindah ke jalan sempit yang dihiasi gedung-gedung bertingkat satu. Seseorang berteriak “Lindungi diri, kamerad!” para demonstran maju pelan-pelan, melempar bom molotov yang mekar di atas aspal. Langit menjadi gelap di atas pohon-pohon hijau. Seorang anak berkulit gelap berlutut dan mengarahkan basoka merconnya. Peluru berbunyi. Brad mengingat sebuah semboyan fotografer perang “Tahu Batas!”. Bersifat rakus dan sembrono itulah yang akan membunuh. Brad lantas mematikan kameranya.

Ketika dia mulai merekam lagi, para demonstran sedang berjongkok di luar sebuah gedung putih, mereka yakin ada seorang rekan yang sedang di tahan di dalamnya. Mereka menghantam pintu, berlarian ke ruang terbuka dan menendang. Brad berteriak, “Mire!” (Lihat!) dari arah jalan, ada tembakan lagi. Brad lari. Seseorang di sampingnya kena tembakan. Brad berteriak, “Shit!” dan seseorang bertanya, “Kamu tak apa-apa, kamerad?”. Brad menyorot wanita tua yang menggenggam manik-manik doanya.

Lalu adegan terakhir yang telah di putar setengah juta kali di seluruh dunia: sebuah truk pengangkut tanah berwarna merah di gunakan sebagai barikade dan pendobrak, pria terluka yang di bawa pergi, letupan senapan yang di balas dengan mercon. Seseorang berteriak, “Diganle a este pinche wey qu no este tomando fotos” (Suruh bajingan itu untuk berhenti memotret!). Brad tetap merekam. Dia menginjak trotoar, kameranya di bidik lurus ke depan. Para companeros berjongkok: Brad berdiri seperti orang asing berkulit pucat yang menjulang di atas kerumunan.

“Saya melihat ini dan berkata, ‘Brad berhenti! Jangan begitu!” kata Miguel, pembuat film asal Meksiko. “Saya bertanya-tanya, apakah dia tahu dimana dia saat itu. apakah dia sadar kalau ia bisa mati.”

Dor – sebuah peluru menghantam pusat tubuh Brad, persis di bawah jantungnya dan membuat batang nadinya meledak.

“Ayudeme!” teriaknya. (Tolong saya!).

“Tranquilo, Tranquilo!” kata seseorang.

(Tenang!) seorang fotografer memberi nafas buatan kepada Brad, lalu dia tersedak dan membuka mulut. Itulah kata-kata terakhirnya, tapi tak ada yang tahu apa yang di ucapkannya; pria-pria yang melarikannya ke rumah sakit tak memahami bahasa Inggris, dan Quebrado telah lupa bagaimana cara mengutarakan pendapatnya.

Glass, mantan pacarnya tengah berada di Hawai ketika mendengar kabar itu. Belakangan, dia sering berbalas e-mail dengan Brad. Dia merindukannya, dan tampaknya Brad juga merasakan hal yang sama. Glass ada di New York menjelang keberangkatan Brad ke Oaxaca, dan mereka pergi minum-minum bersama. Brad membawa pacarnya, tapi di foto-foto dari malam itu, Brad tampak bergandengan dengan Glass. Di hari kematian Brad, Glass sedang duduk di taman dan menyanyikan lagu-lagu yang diajarkan Brad. Dia menyanyikan lagu-lagu anarkis, lalu Hobo’s Lullaby-nya Woody Guthrie. Dia paling ingin menyanyikan lagu favorit Brad, Angel From Montgomery. Dia berusaha mendengar suara Brad. Brad menjadi John Prine, Glass menjadi Bonnie Raitt.

Just give me one thing that I can hold on to
to believe in this living is a hard way to go.

“Saya harus mengirim e-mail ke Brad,” pikirnya. “This is so great!”, lalu teleponnya berdering. “Ini Dyan, bukan?” kata sebuah suara asing. “Bisakah kamu menelepon ibu Brad? Brad terluka.”

“Apa? Bagaimana?” Suara asing itu tidak menjawab. “Saya takkan menelepon ibunya sebelum tahu apa yang terjadi,” kata Glass. Orang tak dikenal itu memberi Glass nomor lain. Dia menelepon. “Saya diminta untuk menghubungi nomor ini mengenai Brad?” katanya.
“Ya, Sudah dikonfirmasi?”

“Oh, dia tewas.”

Sesudah itu kepala Glass hanya berisi jeritan.

Di Oaxaca, orang-orang APPO menyisir rambut panjang Brad dan membalutnya dengan pakaian putih. Mereka mengalungkan salib emas di lehernya dan memasukkannya ke peti mayat. Tak ada pidato berapi-api, hanya tangisan. Fox, presiden Meksiko ketika itu, menjadikan kematian orang asing itu sebagai alasan untuk menginvasi Oaxaca dengan 4.000 polisi federal. Duta besar A.S., seorang kaki tangan Bush asal Texas, menyalahkan para guru sekolah atas kekerasan itu dan berkata bahwa kematian Brad “menegaskan perlunya penegakan hukum dan ketertiban.” Dalam bulan-bulan berikutnya, APPO dibasmi; Calderon menerapkan undang-undang yang mengizinkan polisi untuk menyadap telepon dan menahan orang tanpa surat penangkapan atau tuduhan; pada musim gugur lalu, pemerintahan Bush menawarkan paket bantuan militer senilai US$1,4 milyar, semata-mata untuk menumpas narkotik dan “terorisme”.

Bagaimana dengan pria pembunuh Brad? Kasus itu tampak mudah diselesaikan – seorang fotografer berita Meksiko bahkan memotret pria-pria yang diduga adalah penembaknya, segerombolan tukang pukul berpakaian preman yang berlari menuju Brad dan orang-orang APPO dengan pistol dan senapan AR-15. Jaksa wilayah Oaxaca, yang setia pada Ruiz, dengan berat hati mengeluarkan surat penangkapan untuk dua orang, komandan polisi Orlando Manuel Agular dan Abel Santiago Zarate, yang dikenal dengan sebutan El Chino! Tapi dalam konferensi pers dua minggu kemudian, sang jaksa mengumumkan teori lain: pembunuhan Brad adalah rekayasa yang menipu yang di rencanakan oleh APPO. Dalam cerita versi lain, Brad hanya terluka di jalan. Peluru yang mematikan ditembakkan dari jarak dekat oleh seseorang anggota APPO dalam perjalanan menuju rumah sakit – sesuatu yang mustahil secara fisik, menurut dokter visum. Tak masalah. Pada akhir November, hakim membebaskan tersangka.

Pada Maret 2007, kedua orang tua Brad berpergian ke Meksiko untuk meminta agar investigasi di ambil alih oleh pihak federal. Mereka memenangi perjuangan itu, namun hanya mendapat kisah yang kurang lebih sama dengan berbagai variasi. Bukan masalah dapat dipercaya atau tidak. “Dalam kejahatan-kejahatan politik di Meksiko,” kata Gibler, yang bertindak sebagai penerjemah keluarga itu, “sejarah kental dengan penghilangan dan perusakan barang bukti.” Pihak yang berwenang langsung membanjiri segala diskusi dengan teori konspirasi. Ada tradisi ketidakbecusan yang luar biasa, agar kemudian hanya mungkin ada spekulasi.

Keluarga Will bukanlah orang-orang yang hobi berspekulasi. Di usia 68 tahun, Hardy adalah pria yang tegap dan sehat, dengan rambut putih bergaya muda. Dia masih menyetir selama satu jam bolak-balik setiap hari ke pabriknya di Rockford, Illionis. Kathy berkeliling di sekitar rumah danau di Wisconsin, tempat tinggal mereka sekarang. Rumah yang di rancang dan dibangun oleh kakek buyut Brad ini tampak asri, di mana pemandangan hanya terganggu oleh tumpukan rapi di atas meja makan, berupa dokumen, seolah-olah ada seminar tentang prestasi Brad sewaktu kecil, politik Meksiko dan balistik.

Kasus ini sangat tergantung dengan hal yang disebut terakhir itu. Jika keluarga Will ingin mengatakan, “inilah yang sesungguhnya terjadi, beginilah cara kematian Brad, inilah pria yang membunuhnya,” mereka harus bisa menentukan peluru yang membunuhnya serta sumbernya. Laporan visum awal menyebut bahwa peluru itu adalah 9mm, berarti bukan 38mm. Hardy menunjukkan fotonya, dua peluru pendek yang nyaris tak bengkok. “Peluru-peluru itu hanya menembus jarinagn lembek,” katanya. Tapi dari jarak berapa jauh? Pemerintah berkata bahwa Brad di tembak dari dekat. Keluarga Will yakin bahwa ia di tembak oleh polisi di ujung jalan. Mereka yakin bahwa membuktikan itu akan membuat proses keadilan semakin lancar. Saya datang dengan membawa apa yang dianggap kabar baik bagi keluarga Will sekarang-sekarang ini: sebuah analisis menit terakhir kehidupan Brad yang dibuat oleh sahabatnya. Warcry yang mempercayai saya sebagai kurir.

“Inilah yang kita tunggu-tunggu,” kata Hardy. Kami berkumpul di ruang TV. “Itu dia!” teriak Hardy. Di sisi kiri layar, di atas truk merah dan di antara pohon hijau, muncullah cahaya putih yang bergerak seperti asap dan tampak hanya untuk sekejap, bisa jadi itulah peluru yang akan menerjang Brad.

“Perlukah kita menontonnya lagi?” tanya Hardy. Kepala Kathy menunduk, lalu dia keluar dari kamar. Ulang, berhenti; Brad terjatuh, berulang-ulang. “Ya!” kata Hardy dengan suara lembut, “ini yang kita butuhkan.”

Wajahnya memerah karena senang. Waktu menunjukkan pukul 11.30 malam. Saya menelepon Warcry; dia masih bangun, menunggu tanggapan dari pasangan Will. Hardy ingin melihat gambar yang menampilkan pria yang tampak memegang senapan dari jarak jauh, yang berpotensi dijadikan bukti penembakan jarak jauh. “Ini dapat mengubah segalanya!” kata Hardy. Kami berkumpul di depan komputernya di ruang bacanya, sebuah kamar gelap berisi piala-piala berburu dan pernik-pernik dari masa Hardy sebagai pemain futbol di Yale. Saya membuka gambar itu, seorang pria berkemeja kuning yang berada di kejauhan, dengan laras senapan yang panjang di atas bahu kirinya. Hardy menghela nafas. Dia berjalan menuju lemari senjata yang penuh, mengambil salah satu senapan dan berputar, sambil berpose seperti orang yang membunuh putranya, menurut teori Warcry.

“Itu bukan senapan jarak jauh,” katanya, sambil melihat senjata di tangannya. “Itu senjata karabin.”

Kepulan asap putih itu adalah bukti terbaik yang mereka temukan dalam setahun sejak kematian Brad, tapi mereka masih tak bisa menjelaskan bagaimana ia bisa tertembak dua kali dari jarak jauh oleh senjata tua yang sulit digunakan. Hardy tersungkur di kursi yang ada di pojok ruangan, meratapi kandasnya satu teori lagi, satu kesempatan untuk mendapatkan kepastian lagi, siapa kiranya yang membunuh putranya.

Kathy membawakan teh. Seperti Brad, matanya lembut dan senyumnya lebar. “Saya senang berbincang,” katanya. “Saya senang mengobrol dengan siapapun. Mungkin itu menurun kepada Brad,” Hardy lelah, tapi Kathy duduk tegak, sambil menonton video-video lama Brad – Brad lari dari gas air mata di Miami, peluru di Brazil. Sejak dulu Hardy lebih skeptis, karena ingin melindungi istrinya dari kenyataan pahitnya dunia. Tapi kini wawasan Kathy mengenai dunia menjadi luas, dan semakin memahami keresahan yang dirasakan anaknya seputar politik. Dia masih belum memahami politiknya, menggeleng-geleng saat melihat Brad duduk di depan bendera Amerika terbalik – sebuah bendera yang rapi berkibar dari tiang di luar rumah, dan ada tiga cincin permata berwarna merah, putih dan biru di jarinya. Perubahan sudut pandangnya bukan karena ucapan Brad, namun kebohongan yang diucapkan pemerintah Meksiko.

“Ini jadi konyol, seandainya mereka tidak serius,” katanya. “Yang sebenarnya mereka katakan adalah bahwa Brad ada disana dengan alasan yang sangat bagus. Percayalah, saya tak ingin ia ada disana. Tapi Brad benar. Dia benar tentang semua ketidakadilan itu, saya tidak mengetahuinya. Saya benar-benar tidak tahu. Sekarang saya tahu, saya tahu banyak!”

Salah satu hal paling klise dan paling umum seputar radikalisme di Amerika adalah mitos bahwa orang tua adalah pemicunya, dimana para aktivis pemberontak melawan orang tua atau ingin membuktikan diri pada ayah dan ibu sebelum mereka menjadi ibu dan ayah. Itu bukan apa yang dilakukan Brad Will. Seandainya ia lolos dari baku tembak pada 27 Oktober 2006 itu, dia mungkin takkan menceritakannya pada ibunya. Dia malah akan bercerita tentang makanan lezat Meksiko yang disantapnya, dan ibunya akan berkata bahwa danaunya menjadi datar di musim dingin dan akan segera membeku, dan mungkin Brad bisa bermain ice-skating kalau pulang untuk Natal. Rekamannya kemungkinan besar tidak akan disaksikan oleh pihak-pihak luar komunitas aktivis di Amerika Serikat. Tapi peluru yang membunuhnya malah menyiarkan apa yang ditemukannya melampaui jalur-jalur yang biasa, dan tiba di tempat asalnya. Dengan kematian Brad, Kathy Will menjadi tahu. Itu jenis pengetahuan yang paling menyakitkan: sebuah pemahaman yang baru mengenai dunia sekarang, yang membuatnya nyaris tak dapat melihat dunia seperti yang di bayangkan oleh Brad.

“Perbuatan terakhir yang paling mungkin menjelaskan tentang persepsi itu sendiri,” tulis Hakim Bey dalam puisinya yang panjang, yang menggugah Brad Will menjejaki berbagai kemungkinan itu, “adalah sebuah tali emas kasat mata yang menghubungkan kita semua.”

* * * * *
Teks ini merupakan kontribusi dari Thought Crime untuk NEGASI. 

Leave a Reply