Movie review score
5

Tulisan di bawah ini, kami bajak dari: Bara Wera, sebuah  weblog yang mendokumentasikan perjuangan warga di Wera di Bima, Nusa Tenggara Barat menentang masuknya tambang pasir di daerah mereka. Sebuah aksi mempertahankan hidup yang sekarang sedang menjadi target dari akumulasi keuntungan Kapital dan Negara. Distribusi informasi ini adalah bentuk solidaritas kami terhadap semua bentuk perjuangan otonom dan horizontal di setiap tempat. Sebagai sebuah gelombang besar dari kemarahan dan kemuakan setiap individu yang menolak hidup sekedarnya dan menjadi mesin.
* * *
Sudah puluhan tahun bangsa ini merdeka namun, penjajahan, penjarahan kekayaan alam dan perbudakan masih terus berlangsung dan jauh lebih menyedihkan dari model penjajahan, penjarahan, dan perbudakan sebelumnya karena penjajahan, perbudakan saat ini justru di lakukan oleh pemerintah Negara ini.


Praktek penjajahan dapat kita saksikan lewat berbagai regulasi terkait pertambangan yang dibuat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan tujuan melegalkan dan memudahkan pejarahan kekayaan alam di negeri ini. Sebut saja di antaranya, KepMendag No 38 tahun 2008 yang meniadakan bea Pungutan bagi bahan baku ekspor jenis pasir Besi, selain itu pemerintah pusat juga memberikan keleluasaan bagi para pemodal tambang melalui dua kebijakan perundangan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, lewat kebijakan tersebut juga pemerintah daerah diberi kekuasaan untuk mengeluarkan ijin pertambangan.

Upaya pemerintah melegalkan penjarahan kekayaan alam di negeri ini di mulai sejak era pemerintahan Soeharto dengan memberikan ijin pada PT. Freeport  pada tahun 1973, perusahaan ini telah mengeruk kekayaan alam dan menghancurkan bumi Papua, Beberapa contoh lain, adalah PT. Newmont Minahasa Raya yang telah mengusir ribuan kepala yang mendiami pesisir pantai buyat akibat pencemaran laut dan, warga yang mendiami pesisir pantai kec. Maje Kab. Kaur, Bengkulu telah kehilangan mata pencaharianya akibat aktifitas penambangan pasir besi oleh PT. Selomoro Banyu Artho.

Sampai saat ini, penjarahan masih terus berlangsung. Mayarakat yang mendiami pesisir pantai Kec Wera Kab. Bima, NTB menjadi sasaran selanjutnya dari kerakusan para pemodal. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 406 dan 407 Tahun 2004, Zainul Arifin yang saat itu menjabat sebagai Bupati Bima memberi keleluasaan PT Jagad Mahesa Karya, PT Indomining Karya Buana, PT Global Resurse, PT Lianda Intan Mandiri untuk mengeruk pasir di sepanjang pesisr pantai Wera dengan target ekspor perusahaan tersebut sebesar 200.000 ton perbulannya. Surat keputusan tersebut di keluarkan sama sekali tidak melibatkan warga yang mendiami pesisr pantai Wera.

Dampak yang akan timbul akibat beraktifitasnya perusahaan tersebut hancurnya kehidupan warga yang mendiami daerah tersebut. Lahan pertanian dan pemukiman warga yang sangat  dekat dengan pantai akan lenyap akibat abrasi yang di akibatkan oleh aktifitas pengerukan pasir. Belum lagi dalam proses pemurniaan pasir membutuhkan air dalam jumlah yang cukup besar tentunya akan mempengaruhi ketersediaan ari bagi kehidupan harian warga dan untuk kebutuhan irigasi pertaniannya, selain itu, kehadiran perusahaan tersebut telah merusak hubungan sosial di tingakatan warga yang bermukim di pesisir pantai Wera.

Warga yang merasa terancam dengan aktivitas penambangan melakukan perlawanan dan di mulai sejak tahun 2008 dan selalu mendapatkan tekanan yang represif dari aparat keamanan dan preman-preman yang dibayar oleh pihak perusahan. Sudah berkali-kali pihak aparat menyerang secara membabibuta di perkampungan warga akibatnya sudah puluhan warga yang pernah di tangkap dan di pukuli oleh aparat dan preman.

Sudah banyak korban yang berjatuhan demi mempertahankan tanah dan kehidupan. Perlawanan masih dan akan terus dikobarkan sampai titik darah penghabisan hingga perusahaan tambang pasir besi angkat kaki dari pesisir pantai Wera.

Leave a Reply