Ted Kaczynski

Introduksi 
Ted Kaczynski menulis surat ini sebagai balasan kepada seorang anarkis Turki, Kara, yang mengirimi Ted serangkaian pertanyaan sebagai wawancara untuk zine-nya. Selain termasuk surat Kara, saya mengutip hanya pertanyaan yang dijawab Kaczynski. Ejaan dan kesalahan ketik yang ada dalam transkrip telah diperbaiki. Bahasa Inggris Kara telah dikoreksi. Bagian pos telah ditambahkan.

Dalam surat tersebut, Kaczynski menjelaskan motivasi pribadi untuk melarikan diri dari peradaban;  ia mengutip dari jurnalnya untuk menjelaskan motif  dalam mencari kehancuran, ia menegaskan tanggung jawab teknologi terhadap peradaban, ia menyangkal visi romantis masyarakat primitif yang dipromosikan oleh beberapa primitivists, dan ia memperingatkan potensi kontra-revolusioner dari " Green Anarchist Movement," yang terpengaruh dengan nilai-nilai kiri.

Mengenai pemboman yang dilakukannya, disini Kaczynski mengklaim bahwa dia berusaha untuk menghancurkan masyarakat industri setelah tanah tempatnya melarikan diri dihancurkan oleh pembangunan. 

Suratnya sebagai berikut.


Dear Kara, 

Saya minta maaf karena memerlukan waktu yang lama untuk membalas surat anda yang tertanggal 12 Agustus. Saya biasanya sibuk, terutama dengan menjawab korespondensi, dan surat Anda adalah salah satu yang tidak bisa dijawab secara buru-buru, karena beberapa pertanyaan memerlukan jawaban yang panjang, rumit, dan harus dipertimbangkan secara hati-hati.

Untuk alasan yang sama, hal itu menyebabkan saya mustahil untuk menyempatkan waktu menjawab semua pertanyaan anda. Jadi saya hanya akan menjawab beberapa dari pertanyaan – beberapa yang tampaknya sangat penting dan yang dapat dijawab dengan mudah dan singkat. 

Biografi  
Kara: dimana/kapan anda dilahirkan?
             – Saya lahir di Chicago, Illinois, U.S.A, pada 22 Mei 1942 

Kara: dari sekolah apa anda lulus?
            – Saya lulus dari sebuah sekolah dasar dan SMU di Evergreen Park, Illinoi. Saya  menerima gelar sarjana dari Harvard, dan gelar master kemudian doktor dalam matematika dari University of Michigan. 

Kara: apa pekerjaan anda?
            – Setelah mendapatkan gelar doctor dari University of Michigan, saya menjadi asisten dari seorang professor matematika selama 2 tahun di University of California 

Kara: apakah anda telah menikah? Apakah anda memiliki anak?
            – Saya tidak pernah menikah dan tidak memiliki anak 

Penolakan peradaban 

Kara: Anda adalah matematikawan - apakah Anda memiliki pemikiran seperti itu sekarang? Apa yang telah berubah ide-ide Anda sepenuhnya? Kapan Anda mulai berpikir bahwa masalahnya adalah dalam peradaban? Dapatkah Anda mengatakan dalam beberapa kalimat mengapa Anda menolak peradaban? Bagaimana/kapan Anda memutuskan untuk tinggal di hutan?

            – Jawaban yang lengkap terhadap pertanyaan ini nampaknya akan sangat panjang dan kompleks, namun saya dapat menjawabnya sebagai berikut:

Proses dimana saya kemudian mulai menolak modernitas dan peradaban dimulai ketika saya berumur sebelas tahun. Pada usia itu saya mulai tertarik dengan cara primitif hidup sebagai hasil dari membaca tentang kehidupan manusia Neanderthal. Dalam tahun-tahun berikutnya, sampai saya masuk Universitas Harvard pada usia enam belas tahun, saya sering bermimpi melarikan diri dari peradaban dan akan tinggal di suatu tempat liar. Selama periode yang sama, kebencian terhadap kehidupan modern tumbuh ketika saya menjadi semakin sadar bahwa orang-orang dalam masyarakat industri kemudian hanya merupakan gigi dalam sebuah mesin, bahwa mereka tidak memiliki kebebasan dan berada di bawah belas kasihan organisasi besar yang mengendalikan kondisi dimana mereka tinggal.

Setelah masuk Universitas Harvard saya mengambil beberapa program dalam antropologi, yang mengajari saya lebih banyak hal tentang orang-orang primitif dan memberi saya sebuah keinginan untuk mendapatkan beberapa pengetahuan yang memungkinkan mereka hidup di alam liar. Sebagai contoh, saya ingin memiliki pengetahuan mereka tentang tanaman yang dapat dimakan. Tapi saya tidak tahu di mana mendapatkan pengetahuan tersebut sampai beberapa tahun kemudian, ketika saya menemukannya, saya terkejut bahwa ada buku tentang tanaman liar yang dapat dimakan. Buku pertama yang saya beli adalah Stalking the Wild Asparagus, yang ditulis oleh Euell Gibbons, dan setelah itu, ketika pulang dari kuliah dan sekolah pascasarjana selama musim panas, saya pergi beberapa kali setiap minggu ke Hutan lindung Cook County  dekat Chicago untuk melihat tanaman yang dapat dimakan. Pada awalnya tampak menakutkan dan aneh untuk pergi sendirian ke hutan, jauh dari jalan raya dan setapak. Tapi ketika saya datang untuk mengenal hutan dan banyak tanaman serta hewan yang hidup di dalamnya, rasa keanehan menghilang dan saya perlahan-lahan menjadi nyaman dalam hutan. Saya juga menjadi lebih dan lebih yakin bahwa saya tidak ingin menghabiskan seluruh hidup dalam peradaban, dan kemudian saya ingin pergi dan tinggal di beberapa tempat liar.

Sementara itu, saya mengerjakan matematika dengan baik. Sangat menyenangkan untuk memecahkan masalah matematika, namun dalam arti yang lebih dalam matematika itu membosankan dan kosong karena bagiku itu tanpa tujuan. Jika saya bekerja pada matematika terapan saya akan memberikan kontribusi terhadap perkembangan masyarakat teknologi yang saya benci, jadi saya hanya bekerja pada matematika murni. Tapi matematika murni hanyalah permainan. Saya tidak mengerti, dan masih tidak mengerti, mengapa matematikawan puas untuk membuang-buang seluruh hidup mereka dalam permainan belaka. Saya sendiri benar-benar tidak puas dengan hidup semacam itu. Saya tahu apa yang saya inginkan: pergi dan tinggal di beberapa tempat liar. Tapi saya tidak tahu bagaimana untuk melakukannya. Pada hari-hari ini tidak ada gerakan primitivis, tidak ada survivalists, dan siapa saja yang meninggalkan karir yang menjanjikan di matematika untuk pergi hidup di hutan atau gunung akan dianggap sebagai orang bodoh atau gila. Saya tidak tahu bahkan tidak ada satu orangpun yang akan mengerti mengapa saya ingin melakukan hal seperti itu. Jadi, jauh di dalam hati, saya merasa yakin bahwa saya tidak akan pernah bisa melarikan diri dari peradaban.

Karena saya menemukan kehidupan modern benar-benar tidak bisa diterima, saya menjadi semakin putus asa, sampai pada usia 24, saya tiba di semacam krisis: saya merasa begitu galau, bahwa saya tidak peduli apakah saya hidup atau mati. Tapi ketika saya mencapai titik itu, perubahan mendadak terjadi: Saya menyadari bahwa jika saya tidak peduli apakah saya hidup atau mati, maka saya tidak perlu takut akan konsekuensi apapun atas apa yang akan saya lakukan. Oleh karena itu saya bisa melakukan apapun yang saya inginkan. Aku bebas! Itulah titik balik terbesar dalam hidup saya karena saat itulah saya mendapatkan keberanian yang tetap. Pada waktu itu juga, saya menjadi sangat yakin bahwa saya akan segera pergi untuk hidup di alam liar, tidak peduli apa konsekuensinya. Saya menghabiskan dua tahun mengajar di University of California untuk menabung sedikit uang, kemudian mengundurkan diri dan pergi mencari tempat tinggal di hutan.

Motivasi Pemboman

Kara: Bagaimana / kapan Anda memutuskan untuk melakukan pemboman?

Ini akan memakan terlalu banyak waktu untuk memberikan jawaban lengkap untuk bagian terakhir dari pertanyaan kesembilan Anda, tapi saya akan memberikan sebagian jawaban dengan mengutip apa yang saya tulis dalam jurnal pada tanggal 14 Agustus 1983:

Pada tanggal 5 Agustus saya memulai pendakian ke timur. Saya sampai di kamp tersembunyi pada sebuah ngarai yang saya sebut sebagai "ngarai diagonal yang terjal." saya tinggal di sana sampai hari berikutnya, 6 Agustus. Di sana saya merasakan kedamaian hutan. Tapi hanya ada beberapa huckleberries, dan meskipun ada rusa, hanya ada game kecil yang sangat sedikit. Selain itu, sudah sejak lama saya tidak melihat dataran tinggi yang indah dan terpencil di mana berbagai cabang Trout Creek berasal. Jadi saya memutuskan untuk meninggalkan daerah tersebut pada tanggal 7 Agustus. Tak lama setelah melintasi jalan di sekitar Kawah gunung, saya mulai mendengar rantai gergaji; suara tersebut sepertinya datang dari hulu sungai kecil Roaster Bill. Saya berasumsi bahwa mereka sedang menebang pohon, saya tidak menyukai hal itu tapi saya pikir saya akan mampu menghindari hal-hal seperti itu ketika tiba di dataran tinggi. Dalam perjalanan melintasi lereng bukit, saya melihat di bawah terdapat jalan baru yang belum ada sebelumnya, yang nampaknya untuk menyeberangi salah satu pegunungan di dekat Stemple Creek. Hal ini membuat saya merasa sedikit sakit. Meskipun demikian, saya terus pergi ke dataran tinggi. Apa yang saya temukan disana membuat hati saya hancur. Dataran tinggi sudah dipetak-petak dengan jalan baru, yang luas dan dibuat dengan baik. Dataran tinggi hancur selamanya. Satu-satunya yang bisa menyelamatkannya sekarang adalah runtuhnya masyarakat teknologi. Saya tidak tahan. Itu adalah tempat terbaik dan paling indah dan terisolasi di sekitar sini dan saya memiliki kenangan indah tentang itu.

Satu jalan melewati hingga beberapa ratus meter sampai pada sebuah tempat yang indah di mana saya berkemah untuk waktu yang lama beberapa tahun yang lalu dan melewati banyak waktu-waktu bahagia disana. Penuh dengan kesedihan dan amarah saya kembali dan berkemah di lembah South Fork Humbug.

Hari berikutnya saya mulai membangun kabin. Rute saya membawa saya melewati tempat yang indah, tempat favorit saya di mana ada mata air murni yang aman dan bisa diminum tanpa dimasak. Saya berhenti dan berucap semacam doa dengan semangat musim semi. Itu adalah sebuah doa di mana saya bersumpah bahwa saya akan membalas dendam atas apa yang telah dilakukan terhadap hutan.

Jurnal saya berlanjut: "[...] dan kemudian saya pulang secepatnya karena saya memiliki sesuatu untuk dilakukan! "

Anda bisa menebak “sesuatu” yang harus saya lakukan tersebut.

Teknologi dan Peradaban 

Kara: Apa yang membuat Anda memutuskan untuk membom bidang teknologi? Bagaimana Anda pikir kita bisa menghancurkan peradaban kita? Apa yang akan membuat kehancuran tersebut semakin dekat?

Jawaban yang lengkap untuk pertanyaan ini akan memakan terlalu banyak waktu. Tapi beberapa pernyataan berikut adalah relevan:

Masalah peradaban identik dengan masalah teknologi. Pertama-tama saya akan menjelaskan bahwa ketika saya berbicara tentang teknologi saya tidak hanya mengacu pada peralatan fisik seperti alat dan mesin. Saya juga memasukan teknik, seperti teknik kimia, teknik sipil, atau bioteknologi. Termasuk didalamnya juga adalah teknik manusia seperti propaganda atau psikologi pendidikan, serta teknik organisasi yang tidak bisa eksis pada tingkatan lanjut tanpa peralatan fisik – alat, mesin, dan struktur – di mana sistem teknologi secara keseluruhan bergantung.

Bagaimanapun juga, teknologi dalam arti kata yang luas tidak hanya mencakup teknologi modern tetapi juga teknik dan perlengkapan fisik yang ada pada tahap awal masyarakat. Sebagai contoh, bajak, pelana untuk hewan, alat-alat pandai besi, domestikasi hewan dan pembibitan tanaman, teknik pertanian, peternakan, dan pembuatan metal. Peradaban mula-mula bergantung pada teknologi seperti ini, sama halnya seperti dalam teknik (skill) manusia dan organisasi yang dibutuhkan untuk mengatur sejumlah besar orang. Peradaban tidak bisa eksis tanpa teknologi yang menjadi dasar. Sebaliknya, dimana teknologi tersedia maka dengan sendirinya peradaban akan berkembang cepat atau lambat.

Dengan demikian, masalah peradaban bisa disamakan dengan masalah teknologi. Semakin jauh kita mendorong kembali teknologi, semakin jauh kita mendorong kembali peradaban. Jika kita bisa mendorong teknologi kembali ke zaman batu, maka tidak akan ada lagi peradaban. 

Kekerasan 

Kara: Tidakkah Anda pikir kekerasan adalah kekerasan? 

Berdasarkan tindakan saya, Anda bertanya, "Bukankah kekerasan adalah kekerasan?" Tentu saja, kekerasan adalah kekerasan. Dan kekerasan juga merupakan bagian penting dari alam. Jika pemangsa tidak membunuh anggota spesies mangsa, maka spesies mangsa akan berlipat ganda menuju titik di mana mereka akan merusak lingkungan dengan mengkonsumsi segala sesuatu yang dapat mereka makan. Banyak jenis hewan melakukan kekerasan bahkan terhadap anggota spesies mereka sendiri. Misalnya, diketahui bahwa simpanse liar sering membunuh simpanse lainnya. Lihat dalam Time Magazine, 19 Agustus 202, halaman 56. Di beberapa daerah, perkelahian adalah umum di antara beruang liar. Majalah Bear and Other Top Predators, Volume 1, Edisi 2, halaman 28-29, menunjukkan foto perkelahian beruang dan foto beruang yang terluka dalam perkelahian, juga disebutkan bahwa luka tersebut dapat mematikan. Di antara burung-burung laut seperti boobies coklat, dua butir telur diletakan dalam satu sarang. Setelah telur menetas, salah satu burung muda melakukan serangan terhadap yang lain, kemudian mendorongnya keluar dari sarang, sehingga mati. Lihat artikel “Sibling Desperado,” Science News, Volume 163, 15 Februari 2003.

Manusia dalam tatanan alam liar merupakan salah satu spesies yang lebih ganas. Sebuah survei umum yang baik terhadap budaya berburu-dan-mengumpul adalah The Hunting Peoples, yang ditulis oleh Carleton S. Coon, diterbitkan oleh Little, Brown and Company, Boston dan Toronto 1971, dalam buku ini Anda akan menemukan berbagai contoh kekerasan manusia terhadap manusia lainnya dalam masyarakat berburu dan mengumpul. Profesor Coon menjelaskan (halaman XIX, 3, 4, 9, 10) bahwa ia mengagumi masyarakat berburu dan mengumpul dan menganggap mereka lebih beruntung daripada masyarakat yang beradab. Tapi dia merupakan seorang yang jujur dan tidak menyensor aspek-aspek kehidupan primitif, seperti kekerasan, yang nampaknya tidak menyenangkan bagi orang-orang modern.

Dengan demikian, jelas bahwa sejumlah besar kekerasan adalah bagian alami dari kehidupan manusia. Tidak ada yang salah dengan kekerasan itu sendiri. Dalam setiap kasus tertentu, apakah kekerasan itu baik atau buruk tergantung pada bagaimana itu digunakan dan tujuan digunakannya.

Jadi, mengapa orang-orang modern menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang jahat dalam dirinya sendiri? Mereka melakukannya hanya karena satu alasan: mereka telah dicuci otak oleh propaganda. Masyarakat modern menggunakan berbagai bentuk propaganda untuk mengajarkan orang agar menjadi takut dan ngeri dengan kekerasan karena sistem technoindustrial membutuhkan populasi yang penakut, jinak, dan takut untuk menyatakan diri, populasi yang tidak akan membuat kesulitan atau mengganggu fungsi control dari sistem. Kekuatan akhirnya tergantung pada kekuatan fisik. Dengan mengajarkan orang-orang bahwa kekerasan adalah salah (kecuali, tentu saja, ketika sistem itu sendiri menggunakan kekerasan melalui polisi atau militer), sistem mempertahankan monopoli pada kekuatan fisik dan dengan demikian menjaga semua kekuasaan di tangannya sendiri.

Apapun filosofi atau rasionalisasi moral yang mungkin diciptakan orang untuk menjelaskan keyakinan mereka bahwa kekerasan adalah salah, alasan sebenarnya untuk keyakinan itu adalah bahwa mereka telah secara tidak sadar menyerap propaganda sistem. 

Anarkisme Hijau 

Kara: Bagaimana Anda melihat anarkis, green-anarchists, anarcho-primitivists? Apakah Anda setuju dengan mereka? Bagaimana Anda melihat vegetarian / veganisme? Apa pendapat Anda tentang menolak untuk makan dan menggunakan hewan? Apa pendapat Anda tentang Animal/Earth Liberation? Apa pendapat Anda tentang kelompok-kelompok seperti Earth First!, Earth Liberation Front dan Gardening Guerillas? 

Semua kelompok yang anda disebutkan di sini adalah bagian dari gerakan tunggal. (Mari kita sebut seperti Gerakan "anarkis Hijau" [Green Anarchist (GA)]. Tentu saja, orang-orang benar sejauh mereka menentang peradaban dan teknologi sebagai dasar. Namun, karena bentuk dalam  gerakan ini berkembang, yang sebenarnya membantu dalam melindungi sistem technoindustrial dan dapat berfungsi sebagai sebuah hambatan bagi revolusi. Saya akan menjelaskan:

Sulit untuk menekan pemberontakan secara langsung. Ketika pemberontakan dikalahkan dengan represifitas, sangat sering pecah dan kemudian muncul kembali dalam beberapa bentuk baru di mana pemerintah merasa lebih sulit untuk mengontrol. Sebagai contoh, pada tahun 1878 Reichstag Jerman memberlakukan hukum yang keras dan represif terhadap gerakan Sosial-Demokrat, akibatnya gerakan tersebut hancur dan anggotanya tersebar, bingung, dan putus asa. Tapi hanya dalam waktu yang singkat. Gerakan ini segera bersatu kembali dengan sendirinya, menjadi lebih energik, dan menemukan cara-cara baru untuk menyebarkan ide-ide, sehingga pada tahun 1884 gerakan tersebut menjadi lebih kuat dari sebelumnya. GA Zimmermann, Das Neunzehnte Jahrhundert: Geshichtlicher und kulturhistorischer Rückblick, DRUCK und Verlag von Geo. Brumder, Milwaukee, 1902, halaman 23.

dirancang untuk menyediakan saluran terhadap keluhan dan kemarahan dari pihak berwenang sehingga hal tersebut tidak akan mendorong orang untuk mempertanyakan legitimasi sistem Soviet atau memberontak dalam cara yang serius.Dengan demikian, para pengamat sosial yang cerdik tahu bahwa kelas kuat dari sebuah tatanan masyarakat dapat membela diri terhadap pemberontakan secara efektif dengan menggunakan kekerasan dan represi langsung hanya pada batas-batas tertentu, dan kemudian secara utama mengandalkan manipulasi untuk membelokkan pemberontakan. Salah satu cara paling efektif yang digunakan adalah menyediakan saluran dimana impuls pemberontakan dapat dinyatakan dalam cara yang tidak berbahaya bagi sistem. Sebagai contoh, diketahui bahwa di Uni Soviet majalah satir Krokodil 

Tetapi sistem "demokratik" Barat telah mengembangkan mekanisme untuk membelokkan pemberontakan yang jauh lebih canggih dan efektif daripada yang ada di Uni Soviet. Ini adalah fakta yang benar-benar luar biasa dimana dalam masyarakat barat modern orang–orang "memberontak" dalam mendukung nilai-nilai dari sistem dan kemudian mereka bayangkan diri mereka sebagai pemberontak. Para orang kiri "memberontak" dalam hal mendukung kesetaraan ras dan agama, kesetaraan bagi perempuan dan kaum homoseksual, perlakuan yang manusiawi terhadap hewan, dan sebagainya. Tetapi ini adalah nilai-nilai yang diajarkan oleh media massa Amerika kepada kita berulang-ulang setiap hari. Kaum Kiri telah begitu menyeluruh dicuci otak oleh propaganda media bahwa mereka mampu "memberontak" hanya dalam hal nilai-nilai tersebut, yang merupakan nilai-nilai dari sistem technoindustrial itu sendiri. Dengan cara ini sistem telah berhasil membelokkan impuls pemberontak kiri ke saluran yang tidak berbahaya bagi sistem tersebut. 

Masyarakat Primitif: Sebuah Visi Romantik 

Pemberontakan terhadap teknologi dan peradaban adalah pemberontakan nyata, sebuah serangan nyata pada nilai-nilai sistem yang ada. Tapi green anarchist, anarcho-primitivists, dan sebagainya ("Gerakan GA ") telah jatuh di bawah pengaruh berat gerakan kiri, bahwa pemberontakan mereka terhadap peradaban untuk sebagian besar telah dinetralisasi. Bukannya memberontak terhadap nilai-nilai peradaban, mereka malahan mengadopsi nilai-nilai beradab bagi diri mereka sendiri dan telah membangun sebuah khayalan tentang masyarakat primitif yang mewujudkan nilai-nilai beradab. Mereka berpura-pura bahwa pemburu-pengumpul bekerja hanya dua atau tiga jam sehari (yeng kemudian menjadi 14 sampai 21 jam dalam seminggu), bahwa mereka memiliki kesetaraan gender, bahwa mereka menghormati hak-hak binatang, bahwa mereka memelihara bukan merusak lingkungan mereka, dan sebagainya. Tapi semua itu adalah sebuah mitos. Jika Anda akan membaca banyak laporan yang ditulis oleh orang yang secara pribadi mengamati masyarakat berburu-dan-pengumpul yang pada saat ini relatif bebas dari pengaruh peradaban, Anda akan melihat bahwa:
  • Semua dari masyarakat yang ada memakan beberapa bagian dari hewan, tidak ada yang vegan.
  • Kebanyakan (walau tidak semua) masyarakat kejam terhadap hewan.
  • Mayoritas masyarakat tidak memiliki kesetaraan gender.
  • Perkiraan dari dua atau tiga jam kerja sehari, atau 14 sampai 21 jam per minggu, adalah berdasarkan pada definisi menyesatkan tentang “kerja” Sebuah perkiraan minimum yang lebih realistis untuk nomaden penuh bagi pemburu-pengumpul mungkin akan menjadi sekitar empat puluh jam kerja per minggu, dan beberapa pekerjaan membutuhkan lebih banyak dari itu.
  • Sebagian besar dari masyarakat tersebut bukanlah non kekerasan.
  • Persaingan ada di sebagian besar, atau mungkin ada dalam semua masyarakat. Beberapa dari persaingan tersebut dapat  berbentuk kekerasan.
  • Masyarakat ini sangat bervariasi dalam sejauh mana mereka menjaga dan tidak merusak lingkungan mereka. Beberapa mungkin telah menjadi konservasionis dengan sangat baik, tetapi yang lain merusak lingkungan mereka melalui perburuan yang berlebihan, penggunaan api yang ceroboh, atau dengan cara yang lain.
Saya tidak bisa mengutip berbagai sumber informasi terpercaya untuk mendukung pernyataan di atas, tetapi jika saya dapat melakukannya maka surat ini akan menjadi tidak masuk akal dan panjang. Jadi saya akan menyimpan dokumentasi lengkap untuk kesempatan yang lebih cocok. Di sini saya menyebutkan hanya beberapa contoh.

Kekejaman Terhadap Hewan 

Mbuti pygmies(1) : Anak muda itu telah menikamnya dengan tombak, merobek daging di bagian perut dan menjepit hewan tersebut ke tanah. Tapi hewan itu masih hidup, berjuang untuk kebebasan. [...] Maipe memasukan tombak lain ke lehernya, tetapi hewan itu masih menggeliat dan berjuang. Tidak sampai tombak ketiga menikam jantungnya hewan tersebut menyerah dari perjuangannya. [...] Para Pigmi berdiri di dalam sebuah kelompok dan secara bersemangat menunjuk pada hewan yang sekarat tersebut dan tertawa. Pada saat yang lain aku telah melihat Pigmi membakar bulu-bulu dari burung yang masih hidup, dan menjelaskan bahwa daging akan lebih empuk jika kematian datang perlahan. Dan anjing-anjing berburu, berharga seperti mereka, ditendang tanpa ampun pada hari pertama mereka dilahirkan hingga mati.
— Colin Turnbull, The Forest People, Simon and Schuster, 1962, halaman 101.

Orang-orang Eskimo: Orang Eskimo dimana  Gontran de Poncins tinggal, menendang dan memukul anjing mereka secara brutal. Gontran de Poncins, Kabloona, Time-Life Books, Alexandria, Virginia, 1980, halaman 29, 30, 49, 189, 196, 198-99, 212, 216.

Siriono(2) : orang-orang Siriono terkadang menangkap hewan muda yang masih hidup dan membawanya ke perkampungan, tetapi mereka tidak memberinya makan, dan hewan-hewan itu diperlakukan secara kasar oleh anak-anak sehingga hewan tersebut segera meninggal. Allan R. Holmberg, Nomads of the Long Bow: The Siriono of Eastern Bolivia, Natural History Press, Garden City, New York, 1969, halaman 69-70, 208. (Para Siriono tidaklah murni pemburu-pengumpul, sejak mereka menanam tanaman dalam jumlah terbatas pada waktu –waktu tertentu, tetapi mereka kebanyakan hidup dengan berburu dan mengumpulkan. Holmberg, halaman 51, 63, 67, 76-77, 82-83 , 265.)

Tidak Adanya Kesetaraan Gender 

Mbuti pigmi: Turnbull mengatakan bahwa di antara Mbuti, " Seorang wanita secara social  tidak lebih inferior dari seorang pria" (Colin Turnbull, Wayward Servants, Natural History Press, Garden City, New York, 1965, halaman 270), dan bahwa "wanita tersebut tidak didiskriminasikan" (Turnbull, Orang Hutan, halaman 154). Tapi dalam buku yang sama Turnbull menyatakan sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa Mbuti tidak memiliki kesetaraan gender sebagai istilah yang dipahami saat ini. "Sebuah jumlah tertentu pemukulan istri dianggap baik, dan istri diharapkan untuk balik menyerang." Wayward Servants, halaman 287. "Dia mengatakan bahwa dia sangat puas dengan istrinya, dan ia tidak merasa perlu untuk mengalahkan istrinya setiap saat." Forest People, halaman 205. Seorang laki-laki melempar istrinya ke tanah dan menampar dia.

Wayward Servants, halaman 211. Suami memukul istri. Wayward Servants, halaman 192. Mbuti mempraktikkan apa yang orang amerika sebut dengan “date rape.” Wayward Servants, halaman 137. Turnbull menyebutkan dua contoh dari laki-laki yang memberi perintah kepada istri mereka. Wayward Servants, halaman 288-89; Forest People, halaman 265. Saya belum pernah menemukan dalam buku-buku Turnbull tentang istri yang memberikan perintah kepada suami mereka.

Siriono: orang-orang Siriono tidak memukuli istri mereka. Holmberg, halaman 128. Tapi: "Seorang wanita haruslah tunduk kepada suaminya." Holmberg, halaman 125. "Dalam sebuah keluarga besar, umumnya didominasi oleh laki-laki tertua yang aktiv." Halaman 129. "Perempuan  [...] didominasi oleh laki-laki." Halaman 147. "Inisiatif seksual umumnya dilakukan oleh laki-laki. [...] Jika seorang pria keluar di hutan sendirian dengan seorang wanita ia mungkin melemparkan dirinya ke tanah secara kasar dan menggambil keuntungan dari perempuan itu tanpa banyak berkata-kata. "Halaman 163. Orang tua pasti lebih memilih untuk memiliki anak laki-laki. Halaman 202. Juga lihat halaman 148, 156, 168-69, 210, 224.

Aborigin Australia: "Sejauh utara dan barat [di Australia] [...] sangat nampak, bahwa kekuasaan terletak pada tangan laki-laki dewasa, yang penuh inisiatif dan biasanya pelaku poligini dari kelompok usia 30-50 tahun, dan kontrol atas perempuan dan laki-laki muda dibagi diantara mereka "Carleton S. Coon, The Hunting Peoples  (dikutip sebelumnya), halaman 255.. Diantara beberapa suku Australia, perempuan muda dipaksa menikahi pria tua, sehingga mereka harus bekerja untuk laki-laki tersebut. Wanita yang menolak akan dipukuli sampai mereka menyerah. Lihat Aldo Massola, The Aborigines of South-Eastern Australia: As They Were, Griffin Press, Adelaide, Australia, 1971. Saya tidak memiliki halaman yang tepat, tapi Anda mungkin akan menemukan hal tersebut diantara halaman 70 dan 80.

Waktu Untuk Bekerja 

Sebuah diskusi umum yang baik tentang ini adalah oleh Elizabeth Cashdan, Hunters and Gatherers: Economic Behaviour in Bands, dalam Stuart Plattner (editor), Economic Anthropology, Stanford University Press, 1989 halaman 21-48. Cashdan membahas sebuah studi oleh Richard Lee, yang menemukan bahwa kelompok tertentu Kung Bushmen(3) bekerja kurang lebih empat puluh jam per minggu. Dan dia menunjukkan pada halaman 24-25, ada bukti bahwa studi Lees dilakukan pada tahun-tahun ketika Kung bekerja lebih sedikit, dan mereka mungkin telah bekerja lebih banyak pada tahun-tahun yang lain. Dia menunjukkan pada halaman 26 bahwa studi Lee tidak termasuk waktu yang dihabiskan untuk perawatan anak-anak. Dan pada halaman 24-25 ia juga menyebutkan pemburu-pengumpul lainnya yang bekerja lebih lama dari Bushmen yang dipelajari oleh Lee. Empat puluh jam per minggu mungkin merupakan estimasi minimum waktu kerja yang penuh dari pemburu-pengumpul nomaden. Gontran de Poncins, Kabloona (dikutip sebelumnya), halaman 111, menyatakan bahwa orang Eskimo dimana ia tinggal bekerja keras lima belas jam sehari. Dia mungkin tidak merata-ratakan bahwa mereka bekerja lima belas jam setiap hari, tetapi jelas dari bukunya bahwa orang Eskimo bekerja dengan keras.

Di antara Pigmi Mbuti yang menggunakan jaring untuk berburu, "pembuatan jaring memakan waktu yang banyak [...] di mana pria dan wanita harus tetap melakukannya, meskipun mereka enggan dan memiliki waktu senggang" Turnbull, Forest People, halaman 131. Di antara orang-orang Siriono, rata-rata laki-laki berburu setiap harinya. Holmberg, halaman 75-76. Mereka mulai saat fajar dan kembali ke perkemahan biasanya 16:00-18:00 di sore hari. Holmberg, halaman 100-101. Hal ini membuat setidaknya rata-rata sebelas jam digunakan untuk berburu, dan pada tiga setengah hari dalam seminggu setidaknya rata-rata 38 jam per minggu untuk berburu. Karena pria juga melakukan sejumlah pekerjaan pada hari-hari ketika mereka tidak berburu (halaman 76, 100), kerja mereka seminggu, rata-rata selama setahun, jauh lebih dari empat puluh jam. Sebenarnya, Holmberg memperkirakan bahwa Siriono menghabiskan setengah waktu bangun mereka untuk berburu dan mencari makan (halaman 222), yang berarti sekitar 56 jam seminggu dalam hanya untuk kegiatan tersebut. Dengan pekerjaan lain dimasukkan, minggu kerja akan menjadi lebih dari enam puluh jam. Wanita Siriono "bahkan menikmati istirahat lebih sedikit dari suaminya," dan "kewajiban membawa anak-anaknya hingga dewasa menyisahkan sedikit waktu untuk istirahat." Holmberg, halaman 224. Untuk informasi lain yang menunjukkan betapa sulitnya Siriono harus bekerja, lihat halaman 87, 107, 157, 213, 220, 223, 246, 248-49, 254, 268.

Kekerasan

Seperti disebutkan sebelumnya, banyak contoh kekerasan dapat ditemukan dalam Coon, Hunting The Peoples. Menurut Gontran de Poncins, Kabloona, halaman 116-120, 125, 162-165, 237-238, 244, pembunuhan – biasanya dengan tusukan di belakang – agak umum di kalangan orang Eskimo. Para pigmi Mbuti mungkin salah satu suku paling primitif yang memiliki tingkat kekerasan yang paling sedikit yang saya tahu, sejak Turnbull tidak pernah melaporkan adanya pembunuhan di antara mereka (terlepas dari pembunuhan bayi, lihat Wayward Servants, halaman 130). Namun, secara keseluruhan dalam The Forest People and Wayward Servants  Turnbull menyebutkan banyak pemukulan dan perkelahian dengan tinju atau tongkat. Paul Schebesta, Die Bambuti-Pygäen vom Ituri, Volume I, Royal Institute Kolonial Belge, Brussels, 1938, halaman 81-84, melaporkan bukti bahwa selama paruh pertama abad ke-19 masyarakat Mbuti melakukan perang mematikan terhadap desa-desa di Afrika yang juga tinggal di hutan mereka. (Untuk pembunuhan bayi, lihat Schebesta, halaman 138.)

Persaingan

Adanya persaingan dalam masyarakat berburu dan pengumpul ditunjukkan oleh perkelahian yang terjadi diantara mereka. Lihat misalnya Coon, Hunting Peoples, halaman 238, 252, 257-58. Jika perkelahian fisik bukan merupakan bentuk persaingan, terus apa.

Perkelahian mungkin timbul dari persaingan untuk mendapatkan pasangan. Sebagai contoh, Turnbull, Wayward Servants, halaman 206, menyebutkan seorang wanita yang kehilangan tiga gigi dalam pertempuran dengan wanita lain demi seorang pria. Coon, halaman 260, menyebutkan perebutan perempuan oleh laki-laki suku aborigin Australia. Kompetisi untuk makanan juga dapat menyebabkan pertengkaran. "Ini bukan untuk mengatakan bahwa pembagian [daging] berlangsung tanpa perselisiahan atau kepahitan. Sebaliknya, perdebatan yang timbul ketika kembali dari perburuan menuju kemah sering panjang dan keras [...]." Turnbull, Wayward Servants, halaman 158. Coon merujuk pada "pertengkaran" atas pembagian daging ikan paus diantara beberapa orang-orang Eskimo. Hunting Peoples, halaman 125.

Kesimpulan

Saya bisa meneruskan mengutip fakta-fakta konkret yang menunjukkan bagaimana konyolnya citra masyarakat primitif sebagai masyarakat yang non-kompetitif, vegetarian konservasionis yang memiliki kesetaraan gender, menghormati hak-hak hewan, dan tidak harus bekerja untuk hidup. Tapi surat ini sudah terlalu panjang, sehingga contoh yang telah diberikan seharusnya sudah cukup.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa cara hidup berburu dan mengumpul tidak lebih baik  dari kehidupan modern. Sebaliknya, saya percaya bahwa itu lebih baik jika dibandingkan dengan kehidupan modern. Banyak, mungkin sebagian besar peneliti yang telah mempelajari pemburu-pengumpul telah menyatakan rasa hormat mereka, kekaguman mereka, atau bahkan iri terhadap mereka. Sebagai contoh, Cashdan, halaman 21, melihat cara hidup berburu-dan-mengumpulkan sebagai "tingkatan yang sukses.” Coon, halaman XIX, menyatakan "kehidupan yang penuh dan memuaskan" dari pemburu-pengumpul. Turnbull, Forest People, halaman 26, menulis:

[Para Mbuti] adalah orang-orang yang telah menemukan sesuatu di hutan yang membuat hidup mereka lebih dari sekedar hidup layak, sesuatu yang berhasil, dengan segala kesulitan, masalah dan tragedi, sesuatu yang indah penuh sukacita dan kebahagiaan dan kepedulian yang bebas.

 .
Schebesta menulis, halaman 73:

Bagaimanapun beragamnya bahaya, tetapi juga pengalaman menyenangkan dari aktivitas berburu  dan perjalanan yang tak terhitung jumlahnya dalam menjelajahi hutan purba! Kami berasal dari sesuatu yang tidak puitis, zaman mekanik tidak akan pernah bisa melebihi sebuah kenyataan tentang betapa dalamnya sentuhan para orang-orang hutan dalam pemikiran mistis-magis dan bentuk sikap mereka.

Dan dalam halaman 205:

Masyarakat Pigmi telah ada sebelum kita sebagai salah satu ras manusia yang paling alamiah, sebagai orang yang hidup secara eksklusif sesuai dengan alam dan tanpa merusak organisme fisik mereka. Sifat utama mereka diantaranya adalah kealamian yang kokoh dan kehidupan yang tidak biasa, serta keceriaan yang tak tertandingi dan kebebasan.  Mereka adalah orang-orang yang hidupnya lulus sesuai dengan hukum alam.

Tapi jelas alasan mengapa kehidupan primitif lebih baik dari kehidupan yang beradab tidak ada hubungannya dengan kesetaraan gender, kebaikan terhadap hewan, tanpa persaingan, atau tanpa kekerasan. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai lunak dari peradaban modern. Dengan memproyeksikan nilai-nilai tersebut kedalam masyarakat berburu dan pengumpul, Gerakan GA telah menciptakan sebuah mitos utopia primitif yang tidak pernah ada dalam kenyataan.

Anarkis Hijau dan Revolusi

Jadi, meskipun Gerakan GA mengklaim bahwa mereka menolak peradaban dan modernitas, mereka tetap saja diperbudak oleh beberapa nilai yang paling penting dari masyarakat modern. Untuk alasan ini, Gerakan GA tidak dapat menjadi gerakan revolusioner yang efektif.

Di tempat pertama, beberapa bagian dari energi Gerakan GA dibelokkan menjauh dari tujuan revolusioner yang sejati - untuk menghilangkan teknologi modern dan peradaban secara umum - dalam mendukung isu-isu pseudo-revolusioner seperti rasisme, seksisme, hak-hak hewan, hak homoseksual, dan lain sebagainya.

Di tempat kedua, karena komitmen mereka terhadap isu-isu pseudo-revolusioner, Gerakan GA mungkin bertindak terlalu kekiri-kirian - orang yang kurang tertarik dalam menghancurkan peradaban modern akhirnya masuk dalam isu-isu kiri seperti rasisme, seksisme, dll. Hal ini akan menyebabkan defleksi lebih lanjut dari energi gerakan menjauh dari isu-isu teknologi dan peradaban.

Di tempat ketiga, tujuan mengamankan hak-hak perempuan, homoseksual, hewan, dan sebagainya, tidak sesuai dengan tujuan menghilangkan peradaban, karena perempuan dan homoseksual di masyarakat primitif seringkali tidak memiliki kesetaraan, dan masyarakat tersebut biasanya kejam terhadap hewan. Jika tujuan seseorang adalah untuk mengamankan hak-hak dari kelompok-kelompok tersebut, maka keputusan yang terbaik adalah tetap bersama dengan peradaban modern.

Di tempat keempat, Gerakan GA mengadopsi banyak nilai-nilai lunak dari peradaban modern, serta mitos dari sebuah utopia primitif yang lunak, bertingkah terlalu lembut, telalu banyak bermimpi, malas, secara praktis adalah orang-orang yang tidak berguna yang memiliki kecenderungan untuk mundur ke fantasi utopis daripada mengambil tindakan yang efektif dan realistis untuk menghancurkan sistem technoindustrial.

Bahkan dalam kenyataannya, ada bahaya besar bahwa Gerakan GA dapat mengambil jalan yang sama seperti agama Kristen. Awalnya, di bawah kepemimpinan pribadi Yesus Kristus, Kekristenan bukan hanya suatu gerakan keagamaan, tetapi juga gerakan menuju revolusi sosial. Sebagai sebuah gerakan murni agama, Kristen kemudian menjadi sukses, tetapi sebagai gerakan revolusioner itu gagal total. Garakan Ini tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki kesenjangan sosial pada waktu itu, dan segera setelah orang-orang Kristen memiliki kesempatan untuk membuat kesepakatan dengan Kaisar Konstantinus, semuanya terjual habis dan mereka menjadi bagian dari struktur kekuasaan Kekaisaran Romawi.

Tampaknya ada beberapa kemiripan yang menggelisahkan antara psikologi Gerakan GA dan Kekristenan awal. Analogi antara kedua gerakan ini mencolok: utopia primitif = Taman Eden; perkembangan peradaban = Kejatuhan, dosa asal, memakan apel dari Pohon Pengetahuan, Revolusi = Hari Kiamat; kembali ke utopia primitif = kedatangan Kerajaan Allah. Veganisme mungkin memainkan peran psikologis yang sama dengan pembatasan makanan Kekristenan (puasa selama masa Prapaskah) dan agama-agama lain. Risiko yang diambil oleh para aktivis dalam menggunakan tubuh mereka untuk memblokir mesin penebangan dan sebagainya dapat dibandingkan dengan kemartiran orang-orang Kristen awal yang meninggal karena kepercayaan mereka (kecuali bahwa kemartiran orang Kristen membutuhkan keberanian jauh lebih banyak daripada taktik yang aktivis hari ini lakukan). Jika Gerakan GA mengambil jalan yang sama seperti Kristen, hal itu juga akan gagal total sebagai sebuah gerakan revolusioner.

Gerakan GA mungkin bukan hanya tidak berguna, tetapi lebih buruk daripada itu, karena dapat menjadi hambatan bagi perkembangan suatu gerakan revolusioner yang efektif. Sejak  oposisi terhadap teknologi dan peradaban merupakan bagian penting dari program Gerakan GA, anak-anak muda yang peduli dengan apa yang telah dilakukan peradaban dan teknologi terhadap dunia ditarik ke dalam gerakan itu. Tentu saja tidak semua dari anak-anak muda itu kiri atau lunak, pemimpi, tipe yang tidak efektif, beberapa dari mereka memiliki potensi untuk menjadi revolusioner yang nyata. Tapi dalam Gerakan GA mereka kalah jumlah oleh kaum kiri dan orang yang tidak berguna lainnya, sehingga mereka dinetralisasi, mereka menjadi korup, dan potensi revolusioner mereka terbuang percuma. Dalam pengertian ini, Gerakan GA bisa disebut perusak potensial revolusioner.

Hal ini akan diperlukan untuk membangun sebuah gerakan revolusioner baru dan tetap menjaganya secara ketat agar terpisah dari Gerakan GA dan aktivitasnya yang lembut, nilai-nilai beradab. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan kesetaraan gender, kebaikan terhadap hewan, toleransi homoseksualitas, atau sejenisnya. Tapi nilai-nilai ini tidak memiliki relevansi dengan upaya untuk menghilangkan teknologi peradaban. Hal-hal tersebut bukanlah nilai-nilai revolusioner. Sebuah gerakan revolusioner yang efektif haruslah mengadopsi nilai-nilai yang keras dalam masyarakat primitif, seperti keahlian, disiplin diri, kejujuran, stamina fisik dan mental, intoleransi terhadap kendali eksternal, kemampuan untuk menahan rasa sakit fisik, dan di atas semuanya, keberanian.

P.S. Surat-surat yang dialamatkan kepada saya kadang-kadang tidak saya terima, jadi jika anda menulis surat dan tidak mendapat balasan, Anda dapat mengasumsikan bahwa saya tidak menerima surat Anda. – TJK



Salam ,
Ted Kaczynski

Lampiran :
Fotokopi halaman  28 and 29 dari majalah  Bears and Other Top Predators, Volume 1, Issue 2.
Fotokopi artikel  “Sibling Desperado,” Science News, Volume 163, February 15, 2003.

Ted Kaczynski dapat dihubungi pada alamat dibawah ini:

Theodore John Kaczynski
04475-046
U.S. Penitentiary Max 
P.O. Box 8500 
Florence, CO 81226-8500

Catatan Penerjemah:

(1). Istilah pygmy (kerdil), digunakan untuk merujuk pada orang-orang kerdil, berasal dari bahasa Yunani Pygmaios πυγμαίος yang berarti  kepalan tangan, atau ukuran panjang sesuai dengan jarak antara siku dan tulang kaki. Dalam mitologi Yunani kata tersebut menggambarkan suatu suku kerdil, pertama kali dijelaskan oleh Homer, dan dikenal hidup di India dan selatan Ethiopia modern.

Sedangkan Mbuti pygmies digunakan untuk menjelaskan sebuah kelompok pribumi yang berperawakan kerdil yang berada di daerah Kongo Afrika. Mbuti pygmies memiliki tinggi badan rata-rata di bawah 150 cm. Mbuti pygmies yang dikenal juga dengan Bambuti adalah pemburu-pengumpul, dan adalah salah satu penduduk asli tertua dari daerah Kongo Afrika. Para Bambuti terdiri dari band-band yang relatif kecil dalam ukuran, mulai dari 15 sampai 60 orang. Populasi Bambuti total sekitar 30.000 sampai 40.000 orang.

(2). Sirionó, adalah suku Indian Amerika Selatan yang hidup di timur Bolivia. Mereka hidup di hutan tropis dan kebutuhan subsisten secara tradisional dipenuhi melalui kombinasi pertanian, berburu dan mengumpulkan. Pada musim kemarau mereka menanam jagung, ubi jalar, dan singkong manis, kemudian mereka meninggalkan ladang mereka untuk periode nomaden berburu dan mengumpulkan, mereka kembali hanya untuk interval waktu yang untuk merawat tanaman mereka. Musim panen membawa mereka kembali untuk membersihkan ladang dan menyimpan hasil panen, setelah itu mereka kembali bermigrasi.

Materi budaya tradisional dan organisasi sosial mereka sangat sederhana. Mereka membawa api dari kamp ke kamp, membangun pondok temporari dari tiang yang ditutupi dengan daun kelapa, kadang-kadang cukup besar untuk hunian 120 orang. Garis keturunan berdasarkan matrilinear dan mereka percaya pada roh-roh tetapi tidak memiliki dukun. Mereka membuat beer dari jagung dan madu liar, hiburan mereka adalah menari dan menyanyi. Sirionó tidak memakai baju, namun mencat tubuh mereka.

(3). Kung Bushmen adalah Orang-orang pribumi Afrika Selatan, yang wilayahnya membentang disebagian besar wilayah Afrika Selatan, Zimbabwe, Lesotho, Mozambik, Swaziland, Botswana, Namibia, dan Angola. Kung Bushmen merupakan masyarakat pemburu – pengumpul, yang hidup dalam band-band kecil. Para perempuan mengumpulkan buah, umbi, bawang liar, dan bahan tanaman lainnya untuk konsumsi band. Mengumpulkan telur-telur burung unta, dan kerang kosong yang digunakan sebagai wadah air. Para laki-laki berburu secara tradisional dengan menggunakan racun pada panah dan tombak mereka. Namun sejak  1950-an hingga 1990, mereka beralih ke pertanian sebagai akibat program modernisasi pemerintah serta kampanye meningkatnya risiko dari gaya hidup berburu dan mengumpul yang dilakukan oleh pemerintah di Afrika.


Tulisan ini di terjemahkan dari bahasa inggris oleh Terik Matahari dengan judul asli Letter To A Turkish Anarchist, teks asli dapat di akses di sini
"Neither God nor Master."
Graffiti Paris May 68 

"Alam tidak menciptakan budak ataupun majikan."
Graffiti Paris May 68
 
"Kita akan memiliki tuan yg baik sesegera setelah setiap orang memiliki hidup mereka sendiri."
Graffiti Paris May 68

Jika anda menyukai sekolah, maka anda akan mencintai kerja. Kejam, penyalahgunaan kekuasaan yang tidak masuk akal, otoritas guru dan kepala sekolah yang menguasai anda, intimidasi dan ejekan teman sekelas anda tidak berakhir di kelulusan. Halhal seperti itu hadir di dunia orang dewasa, kurang lebih seperti itu. Jika anda berpikir bahwa anda tidak memiliki kebebasan sebelumnya, tunggulah sampai adanya perubahan/pergantian pemimpin, manajer, pemilik, tuan tanah, kreditur, kolektor pajak, dewandewan kota, papan draft, pengadilan hukum, dan polisi. Ketika anda keluar dari sekolah, anda mungkin luput dari yuridikasi beberapa pihak berwenang, namun anda memasuki kontrol yang mempunyai dominasi lebih besar. Apakah anda menikmati dikendalikan oleh orang lain yang tidak mengerti atau tidak peduli dengan keinginan dan kebutuhan anda? Apakah anda mendapatkan sesuatu dengan mematuhi instruksi dari majikan, pembatasan dari tuan tanah, hukum dari hakim, orang yang mempunyai kekuasaan atas sesuatu yang tidak akan pernah anda berikan dengan sukarela?

Bagaimana mungkin mereka mendapatkan semua kekuatan ini? Jawabannya adalah hirarki.

Hirarki merupakan sistem nilai, dimana nilai anda diukur dengan seberapa banyak jumlah orang dan halhal yang anda kontrol, dan seberapa baik anda menuruti orangorang di atas anda. Bobot yang diberikan ke bawah melalui struktur kekuasaan: setiap orang dipaksa untuk menerima dan mematuhi sistem ini oleh orang lain. Anda takut untuk tidak mematuhi orang di atas anda karena mereka dapat memanfaatkan kekuatan dan kekuasaannya atas semua orang dan segala sesuatu di bawah kewenangannya untuk melawan anda. Anda takut untuk menyerahkan kekuasaan anda atas mereka karena mereka bisa berbalik menggunakannya untuk berada di atas anda. Dalam sistem hirarki, kita semua begitu sibuk berusaha untuk melindungi diri dari yang lain, bahwa kita tidak pernah memiliki kesempatan untuk berhenti, dan berpikir bahwa ini adalah cara terbaik untuk mengatur masyarakat kita. Jika kita bisa memikirkan hal ini, kita mungkin setuju bahwa hal tersebut tidak berjalan; karena kita semua tahu bahwa kebahagiaan berasal dari kontrol atas kehidupan kita sendiri, bukan hidup orang lain. Dan selama kita sedang sibuk bersaing untuk mendapatkan kontrol atas orang lain, kita akan menjadi korban dari kontrol diri kita sendiri. Bahkan mereka yang berada di bagian paling atas tetap dikendalikan oleh posisi mereka: harus bekerja sepanjang waktu untuk mempertahankannya. Satu kesalahan, maka mereka akan berakhir di bagian paling bawah.

Sistem hirarkis inilah yang mengajarkan kepada kita dari masa kanakkanak untuk menerima kuasa dari setiap tokoh otoritas, terlepas dari apakah itu kepentingan utama kita atau tidak. Kita belajar untuk membungkuk secara naluriah sebelum ada yang mengaku lebih penting dari kita. Hirarki ini yang membuat homophobia umum diantara orangorang miskin di Amerika Serikat --mereka putus asa untuk merasa lebih berharga, lebih penting dari siapapun. Hirarki ini bekerja ketika dua ratus anak hardcore pergi ke klub rock (kesalahan, tapi itu topik untuk artikel lain) untuk melihat sebuah band, dan untuk beberapa alasan bodoh, pemilik klub tidak akan membiarkan mereka tampil: ada dua ratus enam orang di klub, dua ratus lima diantaranya ingin band tersebut bermain, tetapi mereka semua menerima keputusan dari pemilik klub hanya karena lebih tua dan memiliki tempat itu (memiliki uang lebih, dan dengan demikian memiliki pengaruh hukum yang lebih). Nilainilai hirarkis inilah yang bertanggung jawab atas rasisme (“orang kulit putih lebih baik daripada orang kulit hitam”), klasisme (“orang kaya lebih baik daripada orang miskin”), seksisme (“pria lebih baik daripada perempuan”), dan seribu prasangka lain yang tertanam dalam masyarakat kita. Hirarki membuat orang kaya melihat orang miskin seolah-olah mereka bukan manusia, begitu pun sebaliknya. Menciptakan jurang antara majikan dan karyawan, manajer dan pekerja, guru dan siswa, membuat orangorang memerangi satu sama lain daripada bekerja sama dan saling membantu satu sama lain; pemisahan seperti ini, membuat mereka tidak dapat memperoleh manfaat dari keahlian dan ideide dan kemampuan mereka, membuat mereka harus hidup dalam iri hati dan ketakutan. Hirarki bekerja ketika bos anda menghina anda atau memaksakan pelecehan seksual terhadap anda dan anda tidak bisa berbuat apaapa, seperti polisi yang memamerkan kekuasaannya terhadap anda. Untuk kekuasaan yang membuat orang menjadi kejam dan tidak berperasaan, dan kepatuhan yang membuat orang menjadi pengecut dan bodoh: dan kebanyakan orangorang dalam sistem hirarki berpartisipasi dalam keduanya. Nilainilai hirarkis bertanggung jawab atas kehancuran alam dan eksploitasi binatang: yang dipimpin oleh Kapitalis Barat, spesies kita mencari kontrol terhadap apapun yang bisa kita dapatkan, berapapun biayanya. Dan nilainilai hirarkis juga yang mengirimkan kita pada peperangan, berjuang untuk menguasai satu sama lain, menciptakan senjata ampuh sampai akhirnya seluruh dunia berada di ambang penghancuran nuklir.

Tapi apa yang bisa kita lakukan? Bukankah itu semua adalah cara bekerja dunia saat ini? Atau ada cara lain agar orangorang bisa berinteraksi, nilainilai lain yang kita bisa hidup dengannya?


Hirarki … dan Anarki
Menghidupkan kembali anarkisme sebagai pendekatan pribadi untuk kehidupan
Berhentilah berpikir bahwa anarkisme hanyalah “tatanan dunia” yang lain, sekedar sistem sosial. Dari tempat kita semua berdiri, di dalam dunia yang sangat didominasi dan dikontrol, mustahil untuk membayangkan hidup tanpa otoritas, tanpa hukum atau pemerintahan. Tidak heran jika anarkisme biasanya tidak ditanggapi secara serius sebagai sebuah program politik atau sosial berskala besar: tidak ada yang bisa membayangkan hal itu akan menjadi seperti apa, apalagi cara mencapainya -bahkan kaum anarkis sendiri.

Sebaliknya, pikirkan anarkisme sebagai orientasi individu untuk diri sendiri dan orang lain, sebagai pendekatan pribadi untuk kehidupan. Bukanlah sesuatu yang mustahil untuk membayangkannya. Pikirkan istilah ini, apa itu anarkisme? Ini akan menjadi keputusan berpikir untuk diri sendiri daripada mengikuti secara membabi buta. Ini akan menjadi penolakan terhadap hirarki, penolakan untuk menerima otoritas “pemberian tuhan” dari setiap negara, hukum, atau kekuatan lain di luar otoritas yang anda memiliki atas diri anda sendiri. Ini akan menjadi ketidak-percayaan naluriah mereka yang mengaku memiliki semacam peringkat atau status di atas yang lain di sekitar mereka, dan keengganan untuk mengklaim status tersebut untuk diri sendiri. Itu akan menjadi penolakan untuk menempatkan tanggung jawab terhadap diri sendiri di tangan orang lain: ia akan menuntut bahwa masingmasing dari kita dapat memilih takdir kita sendiri.
Menurut definisi ini, ada begitu banyak anarkis, meskipun sebagian besar tidak akan menyebut diri mereka sebagai anarkis. Bagi kebanyakan orang, ketika berpikir tentang hal itu (anarkisme), mereka ingin memiliki hak untuk hidup di dalam kehidupan mereka sendiri, untuk berpikir dan bertindak seperti yang mereka mau. Kebanyakan orang lebih percaya diri mereka sendiri untuk mencari tahu apa yang harus mereka lakukan daripada percaya terhadap otoritas yang mendikte mereka. Hampir semua orang menjadi frustasi ketika mereka melawan kekuasaan impersonal yang tak berwajah.

Anda tidak ingin berada pada belas kasihan pemerintah, birokrasi, polisi, atau kekuatan di luar diri anda, bukan? Tentunya anda tidak membiarkan mereka mendikte seluruh hidup anda. Bukankah anda melakukan hal yang anda inginkan, yang anda percayai, setidaknya setiap anda mendapatkan kesempatan itu? Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita semua adalah anarkis. Setiap kali kita membuat keputusan untuk diri kita sendiri, setiap kali kita mengambil tanggung jawab atas tindakan kita sendiri daripada menangguhkannya untuk beberapa kekuatan yang lebih tinggi, kita mempraktekkan anarkisme. Jadi jika kita semua anarkis secara alamiah, mengapa kita selalu menerima dominasi orang lain, bahkan menciptakan kekuatan untuk memerintah? Bukankah anda lebih suka mencari cara untuk hidup berdampingan dengan sesama manusia, daripada bergantung pada beberapa aturan dari luar? Ingat, sistem yang mereka terima adalah salah satu hal yang anda harus hidup di bawahnya: jika anda menginginkan kebebasan anda, maka anda harus peduli apakah orang di sekitar anda menuntut kendali atas hidup mereka atau tidak.

Apakah kita benarbenar membutuhkan majikan/tuan untuk memerintah dan mengendalikan kita? Di Barat, selama ribuan tahun, kami telah menjual kekuasaan negara terpusat dan hirarki secara umum pada premis yang kita lakukan. Kami semua sudah diajarkan bahwa tanpa polisi, kami semua akan membunuh satu sama lain; bahwa tanpa bos, tidak ada pekerjaan yang akan selesai; bahwa tanpa pemerintah, peradaban itu sendiri akan hancur. Benarkah semua itu? Tentu saja, benar jika saat ini akan sedikit pekerjaan yang bisa diselesaikan jika bos tidak mengawasi, akan terjadi kekacauan jika pemerintah jatuh, dan kekerasan kadangkadang terjadi jika polisi tidak ada. Tetapi apakah ini benarbenar indikasi bahwa tidak ada cara lain yang bisa kita lakukan untuk mengatur masyarakat? Bukankah kemungkinan bahwa pekerja tidak akan menyelesaikan pekerjaannya kecuali mereka berada di bawah observasi karena mereka difungsikan untuk tidak melakukan apapun tanpa desakan --lebih dari itu, karena mereka benci diperiksa, diperintah, direndahkan oleh manajer mereka, dan tidak ingin melakukan apapun untuk mereka? Mungkin jika mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, bukannya dibayar untuk menerima perintah, bekerja untuk tujuan yang tidak dikatakan oleh bos dan yang tidak menarik bagi bos, mereka akan lebih proaktif. Bukan untuk mengatakan bahwa semua orang siap atau mampu untuk melakukan hal seperti itu hari ini; tapi kemalasan kita adalah sesuatu yang dikondisikan bukannya alamiah, dan di lingkungan yang berbeda, kita mungkin menemukan bahwa orang tidak perlu bos untuk menyelesaikan sesuatu. Dan untuk polisi yang diperlukan untuk menjaga perdamaian: kita tidak akan membahas bagaiamana peran “penegak hukum” mengambil aspek yang paling brutal, dan bagaimana kebrutalan polisi tidak memberikan kontribusi bagi perdamaian. Bagaimana dampak terhadap penduduk sipil yang tinggal di sebuah negara yang dilindungi polisi? Setelah polisi tidak lagi menjadi perwujudan langsung dari keinginan masyarakat yang mereka layani (dan hal itu terjadi dengan cepat, setiap kali polisi didirikan: mereka menjadi suatu kekuatan eksternal untuk seluruh masyarakat, sebuah otoritas eksternal), mereka dipaksa untuk bertindak dengan kekerasan terhadap masyarakat. Kekerasan tidak hanya terbatas pada kerugian fisik: hubungan yang dibangun dengan paksaan, seperti antara warga sipil dan polisi, adalah suatu hubungan kekerasan. Ketika anda ditindak dengan kekerasan, anda akan belajar untuk membalasnya dengan kekerasan. Bukankah ancaman implisit dari polisi di setiap sudut jalan --orangorang berseragam dimana-mana, perwakilan kekuasaan impersonal negara-- berkontribusi menciptakan ketegangan dan kekerasan? Jika itu sepertinya tidak mungkin bagi anda, dan anda adalah orang dari golongan kelas menengah dan/atau ras kulit putih, tanyakan kepada orangorang miskin kulit hitam dan Hispanik bagaimana perasaannya atas kehadiran polisi. Ketika standar bentuk interaksi manusia berputar di sekitar kekuasaan hirarkis, ketika hubungan manusia lebih sering memberi dan menerima perintah (di tempat kerja, di sekolah, dalam keluarga, dalam pengadilan hukum), bagaimana kita bisa mengharapkan tidak memiliki kekerasan dalam sistem kita? Orangorang cenderung menggunakan kekerasan terhadap satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari mereka, kekuatan kekuasaan otoriter; tentu saja, penggunaan kekuatan fisik tidak bisa jauh dari sistem tersebut. Mungkin kalau kita lebih terbiasa memperlakukan satu sama lain secara sama/setara, untuk menciptakan hubungan berdasarkan kepedulian yang setara untuk kebutuhan satu sama lain, kita tidak akan melihat banyak orang melakukan kekerasan fisik terhadap satu sama lain. Dan bagaimana dengan kontrol dari pemerintah? Tanpa itu, akankah masyarakat kita akan rusak? Tentu saja, tanpa pemerintahan banyak halhal yang akan menjadi berbeda dengan sekarang --tetapi apakah itu merupakan suatu hal yang buruk? Apakah masyarakat modern saat ini benarbenar yang terbaik dari semua kemungkinan yang ada? Apakah layak untuk memberikan begitu banyak kontrol atas hidup kita kepada penguasa, karena kita takut untuk mencoba sesuatu yang berbeda? Selain itu, kita tidak bisa mengklaim bahwa kita perlu kontrol pemerintah untuk mencegah pertumpahan darah massal, karena pemerintahlah yang telah melakukan pembantaian secara besarbesar-an: dalam peperangan, holocaust, dalam perbudakan di pusat yang terorganisir, dan pemusnahan dari seluruh masyarakat dan budaya. Dan mungkin bahwa ketika pemerintahan itu jatuh, banyak orang kehilangan nyawa mereka dalam kekacauan dan perkelahian jarak dekat. Tetapi perkelahian seperti ini hampir selalu terjadi antara kelompokkelompok hirarkis yang haus kekuasaan, di samping calon gubernur dan penguasa. Jika kita menolak hirarki, dan menolak untuk melayani kekuasaan di luar diri kita, tidak akan ada perang besarbesar-an atau holocaust. Itu akan menjadi tanggung jawab dari kita semua untuk memelihara kesetaraan, secara kolektif menolak untuk mengakui kekuasaan apapun, dan untuk tidak bersumpah kepada apapun kecuali diri kita sendiri dan sesama manusia. Jika kita semua melakukannya, kita tidak akan pernah melihat perang dunia lagi.

Tentu saja, bahkan jika dunia akhirnya berdiri tanpa hirarki, kita seharusnya tidak memiliki ilusi bahwa setiap dari kita akan hidup untuk melihatnya direalisasikan. Itu seharusnya tidak menjadi perhatian kita: karena tidak bijaksana untuk mengatur hidup anda yang berputar di sekitar sesuatu yang tidak akan pernah anda alami. Kita harus mengenali pola kepatuhan dan dominasi dalam kehidupan kita sendiri, dan, untuk kemampuan terbaik kita, membebaskan diri dari mereka. Kita harus meletakkan ide anarkis (tidak ada majikan, tidak ada budak) ke dalam kehidupan sehari-hari kita. Setiap saat kita harus mengingat untuk tidak menerima otoritas kekuasaan, setiap salah satu dari kita dapat melarikan diri dari dominasi sistem untuk sementara waktu (melakukan sesuatu yang dilarang oleh guru atau bos, dll), yang merupakan kemenangan bagi setiap individu dan pukulan terhadap hirarki.

Apakah anda masih percaya bahwa mustahil untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari hirarki? Ada banyak contoh sepanjang sejarah manusia: orangorang Bushmen dari Gurun Kalahari masih hidup bersama tanpa otoritas, tidak pernah memaksa atau memerintah satu sama lain, tetapi bekerja sama dan saling memberikan kebebasan dan otonomi. Tentu, mereka telah dihancurkan oleh kita yang lebih suka berperang --tetapi itu bukan berarti bahwa masyarakat egaliter tidak akan ada. William Burroughs menulis tentang bajak laut anarkis seratus tahun yang lalu.

Jika anda membutuhkan contoh yang lebih dekat dengan kehidupan harian anda, ingatlah saat anda berkumpul dengan temanteman anda untuk bersantai di hari Jumat malam. Ada yang membawa makanan, ada yang membawa hiburan, saling berbagi, dan tidak ada yang merasa berhutang apapun kepada siapapun. Anda melakukannya dalam kelompok dan menikmatinya; melakukan banyak hal, tapi tidak ada seorang pun yang dipaksa untuk melakukannya, dan tidak ada yang menjadi bos atau pimpinan. Kita memiliki saatsaat interaksi non-kapitalis, non-koersif, non-hirarkis dalam hidup kita, dan ini adalah saatsaat dimana kita menikmati perkumpulan kita, ketika kita mendapatkan yang terbaik dari orang lain; tapi entah mengapa kita tidak menuntut masyarakat kita untuk bekerja dengan cara seperti ini, seperti persahabatan dan urusan cinta kita. Tentu saja, ini adalah tujuan yang mulia, tetapi mari kita meraih tujuan yang lebih tinggi, jangan pernah puas dengan sesuatu yang kurang dalam hidup kita! Masingmasing dari kita hanya mendapat sedikit waktu di planet ini untuk menikmati hidup; mari kita mencoba untuk bekerja sama dalam melakukannya, daripada berkelahi satu sama lain hanya untuk mendapatkan hadiah yang menyedihkan seperti status dan kekuasaan.

“Anarkisme” adalah ide yang revolusioner bahwa tidak ada yang bisa memutuskan dan menentukan hidup anda kecuali anda sendiri.

--Ini berarti mencoba untuk mencari tahu bagaimana bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan pribadi kita, bagaimana bekerja sama dengan yang lain daripada melawan satu sama lain. Dan ketika hal ini tidak mungkin terjadi, ini berarti anda lebih memilih perselisihan dengan kepatuhan dan dominasi satu sama lain.

--Ini berarti tidak menghargai setiap sistem atau ideologi yang dimaksudkan untuk melayani orangorang tertentu, kurang menghargai teoritis di atas halhal nyata di dunia ini. Artinya menghargai manusia (dan hewan, dll), berjuang untuk diri sendiri dan untuk satu sama lain, bukan karena “tanggung jawab”, bukan karena “maksud” tertentu atau konsep yang tidak berwujud lainnya.

--Ini berarti tidak memaksakan keinginan anda ke sebuah tatanan hirarkis, tetapi menerima dan merangkul mereka semua, menerima diri sendiri. Ini berarti tidak memaksakan diri untuk mematuhi hukum eksternal, tidak mencoba untuk membatasi emosi anda ke dalam halhal yang dapat diprediksi, tidak mendorong naluri dan keinginan anda ke dalam kotak: karena tidak ada tempat yang cukup besar untuk menampung semua jiwa manusia.

--Ini berarti menolak untuk memberikan tanggung jawab kebahagiaan hidup anda kepada orang lain, orang tua, kekasih, pengusaha, atau masyarakat itu sendiri. Ini berarti meletakkan pencarian makna dan kebahagiaan hidup di atas bahu anda sendiri.

Apalagi yang harus dikejar dalam hidup kalau bukan kebahagiaan? Jika ada sesuatu yang tidak berharga tapi kita menemukan makna dan kebahagiaan di dalamnya, apa yang bisa membuatnya menjadi penting? Bagaimana mungkin abstraksi seperti “tanggung jawab”, “perintah”, atau “kesponanan” menjadi lebih penting dari kebutuhan yang sebenarnya dari orangorang yang menemukan mereka? Haruskah kita melayani majikan, orang tua, Negara, Tuhan, kapitalisme, moral, sebelum kita melayani diri sendiri? Siapa yang mengajarkan bahwa kita harus melakukannya?

*****
Teks disadur dari artikel CrimethInc yang berjudul No Masters. Artikel ini diterjemahkan oleh Billy, dan dibajak tanpa izin dari blognya.
Ini adalah beberapa foto yang sempat didokumentasikan oleh beberapa kawan selama proses persidangan Tukijo. Saudara kami, petani pemberani dari Kulon Progo yang diculik, dipenjarakan dan dihukum oleh hukum yang tidak adil atas pilihannya berdiri tegak dan menolak tunduk. Seorang revolusioner pemberani yang dengan bangga kami panggil sebagai saudara.

Bagi kami, putusan hukum yang menjatuhkan vonis selama tiga tahun kepada Tukijo adalah sebuah energi untuk dendam yang lebih besar. Tambahan kekuatan untuk amarah dan benci menentang Negara dan Kapital. Satu lagi alasan yang lebih dari cukup untuk menyerang. Tidak ada kata diam atau menunggu.

Satu-satunya kritik, kami arahkan dalam persoalan ini, adalah bagaimana munculnya harapan palsu bahwa Tukijo mungkin saja menang. Bahwa Tukijo akan dibiarkan begitu saja oleh para penindas, setelah ia berani memilih mempertahankan hidupnya. Sikap percaya dan berharap pada kemurahan lembaga represif sejenis pengadilan, adalah sikap yang tentu saja menunjukkan gelagat pasifisme yang ironis. Vonis penjara yang akhirnya dibacakan juga semestinya dipandang sebagai tindakan ofensif dari mereka terhadap kita semua.

Padahal, semestinya kita semua sudah menyadari bahwa institusi sejenis pengadilan, pengacara dan jaksa adalah agen langsung dari represif hidup harian yang kita alami. Degradasi ini sungguh merupakan sebuah penyakit yang berjangkit. Bagi beberapa kami, ini adalah bukti dari banyolan para pasifis yang kompromis dan lemah.

Meski demikian, kami menghaturkan hormat kepada saudara-saudara kami di Kulon Progo. Kepada setiap orang yang masih menjaga bara marah di dalam hatinya. Jangan biarkan itu padam, sebaliknya nyalakan itu lebih besar biar ikut membakar musuh-musuh kita. Kami mengirimkan salam hangat penuh cinta kepada keluarga Tukijo, kepada istri dan anaknya. Yakinlah, bahwa kalian tidak akan pernah sendiri. Para pendendam seperti kami bersama kalian. Selalu.

Kami juga mengirimkan salam kepada setiap orang di luar sana. Mereka yang secara sembunyi-sembunyi memperhatikan perkembangan kasus ini. Mereka yang berusaha agar tidak tampak namun menyebarkan harumnya solidaritas. Kepada setiap individu yang jauh di dalam tubuh budaknya, telah menyemai api pemberontakan dan menghargai Tukijo sebagai seorang pejuang.

Keluarlah dari persembunyianmu sesekali saudara. Tetaplah anonim untuk menyerang dan menghancurkan apapun yang merupakan kepunyaan musuhmu. Tunjukkan solidaritasmu dengan asap hitam yang mengepul ke udara. Jangan biarkan seorangpun mengenali dirimu agar kau tak mudah tertangkap. Cerdiklah dan biarkan mereka tahu bahwa Tukijo tak akan kita biarkan sendirian.

Partisan NEGASI Libertania:
Agnita Arsonia
Amoria Militia

Rallu Su' Uwae
Reuben Augusto
Sophie Martini
Tanpa Nama
Terik Matahari

    Foto lainnya dapat dilihat di: [sini]
    Perairan pesisir Wera mulai keruh akibat aktivitas penambangan pasir besi. Menurut pengakuan warga, aktivitas penambangan dilakukan dengan cara menyedot pasir yang ada di pantai Wera dengan menggunakan pipa berukuran raksasa yang terhubung langsung ke kapal pengangkut. Proses penyedotan yang dilakukan membuat material yang berada di dasar perairan terangkat dan melayang di kolom air. Hal ini membuat tingkat kecerahan perairan Wera mengalami penurunan, sehingga menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam perairan. Hal ini memicu krisis pertumbuhan berbagai organisme laut yang ada di dalamnya, baik itu terumbu karang, fitoplankton, dan banyak organisme lainnya yang berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem perairan tersebut.

    Nelayan setempat mengeluhkan tentang penurunan jumlah tangkapan mereka semenjak tambang pasir besi beroperasi kembali. Penyebabnya adalah, terumbu karang yang menjadi tempat hidup ikan menjadi rusak karena keruhnya air laut.



    Perusahaan tambang menemukan cara yang efisien untuk mengeruk pasir besi yang ada di pantai dengan cara menyedotnya langsung menuju kapal pengangkut. Perusahaan tambang yang rakus tersebut tidak memikirkan kerusakan yang mereka timbulkan. Perlahan tapi pasti perairan Wera akan mengalami kerusakan hebat jika proses pertambangan terus berlanjut. Belum lagi jumlah pasir yang diangkut dalam volume yang besar mengakibatkan krisis pada garis pantai Wera. Abrasi dan intrusi air laut mengancam kehidupan warga pesisir Wera. Krisis air bersih dan berkurangnya luas daratan di pesisir Wera adalah ancaman di depan mata yang akan terjadi jika proses pertambangan tidak dihentikan.  

    Maka hentikan tambang pasir besi di Wera sekarang juga!
    Ishmael Yahalah
    Burhan May Lee 


    Di Koran Tempo edisi 20 Mei 2011, Ihsan Ali-Fauzi dosen Paramadina Graduate School menulis tentang mana perlawanan yang lebih efektif : dengan kekerasankah atau cara-cara damai?

    Mengacu dari studi akademis Kurt Schock dalam Unarmed Insurrection (2005) serta Maria Stephan dan Erica Chenoweth (Why Civil Resistance Works?, 2010), Ihsan berargumen bahwa ketimbang cara-cara yang keras, metode perlawanan damai memiliki kemungkinan berhasil lebih besar. Contoh terkininya terpapar di Mesir dan Tunisia yang berhasil mencongkel Husni Mubarak atau Ben Ali, dimana Libya tak kunjung sukses menjungkal Kolonel Qhadafi. Keberhasilan di Mesir dan Tunisia tersebut menurut Ihsan tidak lepas dari metode yang ditempuh dalam perlawanan. Di Mesir dan Tunisia, pemrotes mengusung cara-cara damai, sementara di Libya oposisi mengangkat senjata hingga terlibat perang sipil tanpa ujung.


    Studi Stephan & Chenoweth (2008) yang menganalisa perlawanan-perlawanan dari 1900 hingga 2006,  memunculkan kesimpulan bahwa keberhasilan gerakan tak bersenjata lebih tinggi yakni 53 persen dibanding gerakan perlawanan bersenjata yang hanya 26 persen.

    Untuk tidak terjebak dalam pengglorifikasian metode damai maupun cara-cara kekerasan, kami tidak akan mendebatinya secara biner dan dikotomis. Ini karena bagi kami, keharusan mendasar pertama dalam hal ini adalah melakukan demistifikasi pada banyak mitos-mitos yang senantiasa melekat pada diskursus gerakan perlawanan non-kekerasan (non-violence movement).  Selain itu, konsentrasi juga mesti kita arahkan pada perubahan-perubahan esensial dalam perlawanan. 

    Kebingungan-kebingungan Kontemporer 
    Ada beberapa hal yang absen dalam hampir setiap tulisan yang mengadvokasi cara-cara damai sebagai satu-satunya jalan yang memungkinkan untuk sebuah perubahan. 

    Pertama, kita tidak mendapatkan klarifikasi yang jernih tentang apa yang disebut perjuangan-perjuangan damai. Tidak ada penjelasan seperti apa rentangan atau definisi minimumnya, termasuk ruang  mutasi metodologisnya jika diperlukan.

    Dalam contoh kontemporer misalnya, definisi-definisi tersebut menjadi gamang. Apakah rakyat Mesir yang marah dan menduduki pusat-pusat kota di Kairo masih bisa disebut berjuang secara damai saat aksi-aksi tersebut berubah menjadi amuk massal? Bagaimana pula di Yunani 2009, untuk melawan pasukan negara bersenjata lengkap para anarkis mempersenjatai diri dengan botol berisi gasolin dan sumpal sumbu. Atau para piquetteros di Argentina tahun 2001 yang bersenjatakan gagang baseball dan rantai mesin saat bahu membahu dengan buruh untuk mempertahankan pabrik dari polisi dan preman bayaran. Apakah insurgen yang mengangkat senjata berjuang menentang diktator Qhadaffi sekaligus menolak tentara NATO di Libya, seutuhnya disebut pengguna kekerasan? Lalu bagaimana pula Intifada di Palestina dimana para pejuang bahkan tidak melihat lagi kemungkinan memenangkan perlawanan terhadap Zionis melalui cara-cara damai?

    Dalam penjelasannya, Stephan dan Chenoweth juga mengadopsi bahwa “metode-metode non-kekerasan meliputi protes-protes simbolik, boikot, pemogokan, pembangkangan sosial dan politik, serta intervensi damai, dimana kecenderungannya mengambil posisi di luar kanal politik tradisional –yang membedakannya dengan proses-proses politik non-kekerasan lainnya seperti lobi, jalur elektoral (pemilu ataupun pilkadal) maupun proses legislasi”. Meski menggambarkan keragaman taktik perlawanan non-kekerasan dari akan tetapi highlight ini justru mengkonfirmasi kebingungan metodologis sekaligus teoritis kebanyakan pasifis.

    Kegamangan aksi dan metode non-kekerasan ini hanya berpijak pada prinsip “jika pun memang akan ada darah yang tumpah, biarlah itu darah kita,” dengan tujuan menarik perhatian internasional dan liputan pers untuk menekan pemerintah agar memenuhi tuntutan para pemrotes. Untuk itu, moral utama gerakan non-kekerasan adalah tidak menggunakan kekerasan dalam bentuk dan alasan apapun.

    Mayoritas pasifis atau penganjur cara damai selalu menempatkan dirinya berseberangan dengan kekerasan tipe dan alasan apapun, termasuk ‘kekerasan revolusioner’, sebuah frasa yang mungkin terdengar sangat klise. Sehingga tiada hal yang pasti untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar seperti apakah yang dimaksud cara-cara damai adalah saat absennya penggunaan senjata organik atau bahan peledak? Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan gerakan bersenjata, apakah hanya ketika insurgen menggunakan senjata organik atau bom rakitan, dan bukan balok kayu, batu bata, atau pentungan?

    Dan tentu saja pertanyaan yang tidak pernah terjawab adalah seberapa damaikah gerakan perlawanan damai? 

    Kedua, terdapat hal yang sangat mengganggu mengenai ukuran-ukuran keberhasilan yang dicapai sebuah gerakan. Jika klaim bahwa perlawanan damai lebih efektif, maka tentu saja efektif dalam mencapai sebuah ukuran-ukuran tertentu.

    Stephan dan Chenowenth menuliskan perlawanan damai di Mesir dikatakan berhasil saat menjungkal Hosni Mubarak, Gandhi dikatakan berhasil dalam pembebasan nasional India, atau Timor Timur berhasil lepas dan berdiri sendiri dari Indonesia. Semuanya dicapai lewat gerakan perlawanan damai dan bukan dengan penggunaan kekerasan.

    Ukuran keberhasilan sebagai pangkal kategori yang disebut efektif, tentu saja sangat debatable tergantung sudut pandang serta gambaran dunia yang kita bangun. Teori ini ambigu, dan kita bisa simpulkan bahwa jika untuk mencapai ukuran tersebut, semua metode dan taktik dapat sejajarkan.

    Inilah rekahan dalam teori perlawanan damai. Hanya akan efektif bila ukuran dan capaian-capaian maksimumnya yang reformis dan normatif. Angka 53 persen yang muncul dalam studi tersebut nyaris kesemuanya adalah capaian-capaian normatif seperti penggantian kepemimpinan nasional, pengesahaan undang-undang tertentu, dan sejenisnya.

    Kami berpendapat bahwa ukuran keberhasilan tidak bisa sesederhana itu, melainkan mesti mendasar dan esensial serta radikal. Tentu saja tidak ada platform yang baku untuk menawarkan seperti apa konsepsi capaian radikal dalam sebuah pergerakan. Menurut kami keberhasilan sebuah gerakan baik menggunakan cara-cara damai maupun yang menambahkan dengan aksi-aksi kekerasan, terletak pada bangunan dasarnya serta situasi yang dipengaruhinya.

    Apakah aksi-aksi tersebut berhasil mendorong pembangunan dewan-dewan warga atau pekerja dalam rangka mentransformasikan kapitalisme sesegara mungkin, atau komite-komite dalam mengelola dan mengontrol perjuangan agar tetap otonom dan tidak direkuperasi oleh partai politik, yayasan-yayasan kelas menengah, atau negara? Apakah partisipasi warga terbangun secara aktif dan dominan untuk mengorganisir dan mempertahankan kemenangan merebut kontrol hidup mereka sendiri? Apakah terbangun solidaritas horizontal lintas batas untuk mempertahankan capaian-capaian yang telah diraih? Apakah insureksi tersebut, baik bersenjata atau tidak, menjalar ke tempat-tempat lain? Dan seterusnya.

    Dalam beberapa contoh historik misalnya Revolusi Rusia 1917 (sebelum revolusi dikalahkan oleh kapitalisme negaranya Bolshevik), Revolusi Spanyol 1936-1937 (sebelum revolusi digadaikan oleh pihak Komunis dan kolaboratornya dengan kaum republikan), hingga perlawanan rakyat dalam Dewan Rakyat APPO di Oaxaca tahun 2001 (sebelum dikoptasi oleh politisi Kiri), semuanya tidak diorganisir oleh aksi-aksi yang menihilkan kekerasan, baik sebagai konsekuensi maupun taktik.

    Untuk memberangus sistem ekonomi dominan yang menghisap dan menindas dengan memonopoli kekerasan sebagai modusnya, diperlukan sebuah upaya yang melampaui kanal-kanal normal. Dan kita tidak mungkin menggadai capaian radikal dan mendasar dengan percaya bahwa “untuk menuju ke arah sana hanya ada satu-satunya cara yang mungkin”. 

    Ketiga, mayoritas orang terjebak pada distorsi bahkan falsifikasi sejarah sebagai basis argumen gerakan-gerakan non-kekerasan. Ada tiga contoh yang sering diajukan sebagai rujukan keberhasilan gerakan non-kekerasan yakni 1) gerakan pembebasan nasional di India yang dimotori oleh Mahatma Gandhi, 2) gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan di bawah kepemimpinan Nelson Mandela, dan 3) gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat di bawah Martin Luther King Jr.

    Nyatanya, sebagaimana Michael Neumann (2003) jelaskan, argumen-argumen atas kesuksesan gerakan tersebut lebih banyak bertabur mitos ketimbang penjelasan jernih. Bahkan Peter Gelderloos dalam How Non-Violence Protect The State (2007) menuliskan bahwa sebagai taktik, non-kekerasan tidaklah (sepenuhnya) efektif, memiliki kecenderungan rasis, mendukung dan memperkuat negara, bersifat patriarkis, inferior dan mengilusi. Ini terbukti di banyak contoh sejarah. 

    Demistifikasi Sejarah

    INDIA
    Di India, Mahatma Gandhi mendorong gerakan pembebasan nasional India melawan kolonial Inggris, dengan prinsip non-kekerasan. Tujuannya tentu saja mengusir penjajah dan membebaskan India sebagai tanah merdeka dan berdaulat, yang bersatu tanpa pertikaian etnis dan keyakinan. Namun jauh dari apa yang sering digambarkan, Gandhi dan gerakannya tidak berhasil mewujudkan ideal-idealnya, terlebih melalui taktik-taktik damai. India selepas gerakan Gandhi adalah India yang terbelah dengan berdirinya Pakistan, yang penuh dengan perseteruan berdarah paling mengerikan paska perang dunia, terutama antara kaum Muslim dan Hindu.

    Kemerdekaan India secara formal tidaklah sepenuhnya buah dari taktik non-kekerasan. Fakta yang terjadi lebih kompleks ketimbang analisa sederhana dari kalangan pasifis mengenai keberhasilan metode non-kekerasan Gandhi dan pengikutnya. Runtuhnya kekuasaan penjajah Inggris di India juga dipengaruhi faktor internal penjajah. Saat gerakan rakyat di India bangkit, kekuatan Inggris dalam mengontrol kekuasaan kolonialnya sebenarnya telah merosot tajam setelah kehilangan jutaan tentara dalam perang dunia. Resistensi melawan imperium Inggris di tempat lain juga berkontribusi besar dalam pelemahan tersebut, seperti perjuangan militan Arab dan Yahudi di Palestina dari tahun 1945 hingga 1948. Posisi tersebut memaksa penjajah Inggris mengambil keputusan penting untuk melepas kekuasaan langsung di tanah jajahan, demi memperbaiki stabilitas di negeri induk.

    Lagipula India tidak sepenuhnya berdaulat seperti yang selalu diklaim. Inggris tidak hengkang dari India, melainkan hanya mengalihkan wilayah jajahannya dalam kekuasaan neo-kolonial.

    Analisa tersebut berhubungan dengan kekeliruan-kekeliruan dalam menghubungkan berbagai faktor yang berpengaruh dalam peristiwa tersebut.

    Kekeliruan pertama adalah heterogenitas taktik dalam sejarah perlawanan India. Berkebalikan dengan argumen-argumen umum, non-kekerasan bukanlah satu-satunya metode yang dipakai oleh militan India. Ada banyak taktik dan metode lain yang bahkan berseberangan dengan ahimsa.

    Sementara kekeliruan kedua adalah bahwa Gandhi bukanlah satu-satunya figur penting dalam resistensi di India. Salah satu yang terlupakan adalah Chandrasekhar Azad (1906 – 1931) dan Bhagat Singh (1907 – 1931). Azad dan Singh adalah figur penting yang tidak mungkin dipisahkan dari sejarah gerakan pembebasan di India. Para militan tersebut menempuh jalur bersenjata, pemboman kantor dan markas tentara Inggris, dan pembunuhan opsir-opsir penjajah. Pilihan yang sungguh bertolak belakang dengan yang ditempuh Ghandi itu diambil karena menganggap metode non-kekerasan sesungguhnya kompromis dan hanya akan mengganti satu penindas dengan penindas lain, serta berpotensial memoderasi perlawanan. Tahun 1922, selepas kerusuhan besar-besaran, Ghandi menyerukan kepada rakyat India untuk menghentikan perlawanan, sebuah posisi yang menyebabkan ia kehilangan banyak dukungan.

    Amerika Serikat 
    Gerakan menuntut persamaan hak-hak sipil di Amerika yang berkembang sejak akhir 50-an dan hingga pertengahan 60-an juga selalu menjadi rujukan dari kelompok-kelompok pasifis. Martin Luther King Jr. adalah salah satu figur penting dalam gerakan ini. Ia juga menekankan prinsip non-kekerasan sebagai bagian dari gerakan tersebut. Namun tidak ada kesuksesan dari gerakan tersebut kecuali pada beberapa aturan legal yang hanya menguntungkan borjuis kulit hitam.

    Gerakan persamaan hak yang diusung kaum kulit hitam menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar perubahan undang-undang saja. Black Movement menuntut persamaan penuh dalam hal politik, sosial dan ekonomi, dan bahkan menuntut kedaulatan penuh dari imperialisme kulit putih. Karenanya kita tidak mungkin memisahkan gerakan kulit hitam dari sayap revolusioner seperti Black Panther, sebuah grup yang haluannya sangat kontras dengan Martin dan pengikutnya. Sebuah jajak pendapat di tahun 1970 menyimpulkan mencatat bahwa popularitas dan kepercayaan kaum kulit hitam kepada Black Panther secara politik sangat tinggi. Mayoritas menganggap bahwa aksi-aksi militant Black Panther telah mendorong kebanggaan atas identitas mereka –sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi, menginspirasi untuk terlibat dalam gerakan, dan sepakat dengan pandangan-pandangannya yang radikal mengenai persamaan hak.

    Sementara mitos tentang pendekatan non-kekerasan dalam gerakan tersebut sebenarnya juga lemah. Dalam beberapa aksi-aksi populer seperti kampanye Birmingham, partisipan gerakan telah banyak meninggalkan pasifisme yang dipakai oleh King dan pendukungnya. Pada tanggal 24 Juli 1962 di Albany, Georgia, aksi protes damai berubah menjadi rusuh dimana kaum muda kulit hitam berhasil memaksa polisi keluar dari perkampungan mereka.

    7 Mei 1963 di Birmingham, lebih dari 3000 kaum kulit hitam marah dan melakukan balas dendam ke polisi. Hanya butuh 2 hari, aksi ini kemudian direspon cepat oleh pemerintah negara bagian maupun pemerintah federal dengan mengesahkan tuntutan kaum kulit hitam tentang diskriminasi rasial. Pengesahan ini keesokan harinya mengundang kemarahan kalangan fasis kulit putih, yang membom rumah dan toko-toko milik orang kulit hitam. Akibatnya, tidak bisa dibendung lagi. Berselang satu hari kemudian, kemarahan kulit hitam memuncak. Ribuan orang turun ke jalan, membakar properti bisnis orang-orang kulit putih, menghancurkan mobil-mobil polisi dan melukai beberapa aparat termasuk kepala polisi lokal. Seluruh Amerika terhentak oleh peristiwa tersebut. Selama sebulan lebih media massa terus menerus mengangkat hal ini. Kaum kulit hitam telah menanggalkan kepercayaan mereka sebelumnya dan bersikeras bahwa aksi-aksi damai sudah gagal dan tidak lagi efektif. Dengan tetap berjuang melawan rasisme tanpa berkompromi lagi, aksi inilah yang akhirnya mengakhiri beberapa tahun episode pasif dari gerakan hak-hak sipil.

    Afrika Selatan
    Di Afrika Selatan, terlalu naif untuk menyimpulkan bahwa sejarah gerakan anti-apartheid dikendalikan dalam platform non-kekerasan. African National Congress atau ANC yang memainkan peranan penting dalam gerakan tersebut, tidak pernah memiliki komitmen non-kekerasan ala Gandhian. Ini adalah hal jamak di berbagai pergerakan anti-apartheid lainnya di Afrika. Meskipun ANC tidak secara langsung menggunakan taktik-taktik kekerasan , kedekatan dan relasi mereka dengan kelompok-kelompok atau sayap bersenjata seperti Umkhonto we Sizwe (MK) adalah indikasi bahwa ANC mendorong perjuangan skala luas dan bukan dalam taktik tunggal.

    Penggunaan kekerasan adalah hal tak terhindarkan dalam perjuangan yang penuh represi tersebut. Namun berkebalikan dengan prinsip gerakan non-kekerasan yang tidak mentolerir alasan apapun bahkan jika untuk membela diri, kaum kulit hitam Afrika Selatan justru kerap kali menggunakan metode kekerasan secara luas, tidak hanya dalam situasi bertahan atau membela diri. Ini adalah fakta yang memposisikan bahwa gerakan tersebut tidaklah semata menggunakan taktik non-kekerasan.

    Taktik-taktik kekerasan memainkan peranan penting dalam memajukan perjuangan di Afrika Selatan. Di tahun 1959, Presiden ANC Albert Luthuli mulai menyerukan kepada pendukungnya untuk memboikot perekonomian nasional. Gerakan non-kekerasan ANC sebenarnya dimulai tujuh tahun sebelum seruan pertama boikot tersebut. Akan tetapi, seruan boikot tersebut baru ditanggapi dan berhasil semenjak 1977, yaitu setahun setelah peristiwa kerusuhan di Soweto. Seruan serupa juga bersambut di tahun 1985-1986, yakni setelah kerusuhan demi kerusuhan berkembang dimana para pemrotes mengambil aksi-aksi keras termasuk menyerang kantor-kantor polisi.

    Selain partisipasi rakyat dalam aksi-aksi kolektif, aksi-aksi gerilyawan sayap bersenjata juga turut melemahkan pemerintah apartheid Afrika Selatan. Aksi-aksi ini terutama menyasar pada musuh-musuh politik gerakan anti-apartheid, hingga aparat maupun intel-intel polisi.

    Sejarawan selalu luput mengenai aksi-aksi tersebut, terutama karena aksi-aksi jalanan dan radikal diorganisir oleh geng-geng kecil maupun gerombolan-gerombolan tanpa identitas organisasi formal yang tidak dikenal. Inilah yang menyebabkan bahwa kebanyakan falsifikasi sejarah berawal dari kekeliruan memahami karakter disorganisasi dari sebuah aksi-aksi radikal.

    Kejatuhan rezim apartheid Afrika Selatan sama sekali bukan karenan tekanan aksi-aksi simpatik non-kekerasan, beban moral para tiran, atau sesuatu yang dalam bahasa Gandhian disebut penderitaan pasif (passive suffering). Apartheid di Afrika Selatan runtuh karena para penguasa kulit putih dan sekutunya di luar Afrika Selatan telah tersudutkan oleh situasi dan kondisi yang sudah di luar kontrol mereka, terutama situasi ekonomi yang terus memburuk karena boikot, melemahnya birokrasi, dan meningkatnya aksi-aksi kekerasan melawan rezim apartheid.

    Melampaui Dikotomi
    Tentu saja menolak pasifisme atau non-kekerasan bukanlah mempromosikan kekerasan sebagai resep mujarab. Hal itu tidaklah sepenuhnya menggaransi keberhasilan sebuah perjuangan. Namun secara realistis kita harus menerima bahwa terkadang kekerasan itu dapat dibenarkan, terlebih kekerasan untuk bertahan atau untuk melawan kekerasan dari pihak lain. Sementara di seberang sisi, para pasifis selalu merawat kepercayaan dan logikanya dengan cara yang tidak kritis, bahwa tak satupun jenis kekerasan yang bisa ditoleransi.

    Karenanya kita mesti melampaui dikotomi kekerasan dan non-kekerasan. Yang diperlukan adalah mengembangkan berbagai taktik yang relevan dengan situasi hari ini dalam konteks ‘perang sosial’ (social war). Karena yang kita ingin capai bukan sekedar mengganti undang-undang, merombak kepemimpinan nasional dengan menggulingkan yang lama dan mengganti dengan yang baru, serta hal-hal lain yang tidak esensial, maka kita harus mengkonsentrasikan perubahan pada hal-hal mendasar.

    Esensi sebuah perubahan radikal juga bukanlah terletak pada konfrontasinya dengan negara dan kapital, melainkan sifat dasar dari gerakan yang berkonfrontasi tersebut. Ini berarti hanya bisa termanifes dalam relasi sosial pada organisasi, dewan-dewan, atau wadah-wadah lain yang muncul dalam konflik sosial yang berlangsung. Ini merupakan proses mutlak yang dibutuhkan, yakni mendemistifikasi tawaran dan agenda reformis serta otoritarian yang hanya menjebak perlawanan dalam logika yang itu-itu saja.

    Sehingga selain memenangkan perlawanan kita juga seharusnya berkonsentrasi pada pertanyaan : apakah relasi sosial yang terbangun dalam perjuangan tersebut berhasil menegasikan relasi sosial sebelumnya dan mengekspresikan tatanan yang ingin dicapai (non-hirarkis, swakelola dan swadaya, otonom, dll)? Ataukah masih mereplikasi tatanan sosial yang eksis saat ini (hirarkis, terpusat, terkomandoi, dll) ?

    *****
    Rujukan
    1. Why Civil Resistance Works? The Strategic Logic of Nonviolent Conflict, Maria Stephan dan Erica Chenoweth (International Security Vol 33 No 1, 2008)
    2. How Non-Violence Protect The State, Peter Gelderloos (South End Press, 2007), Cambridge
    3. Nonviolence Its Histories and Myths, Michael Neumann (CounterPunch, 2003)